Friday, 9 October 2015

TEORI PENGKAJIAN FIKSI BURHAN NURGIANTORO



TEORI PENGKAJIAN FIKSI BURHAN NURGIANTORO
 
BAB I
FIKSI: SEBUAH TEKS PROSA NARATIF
A.      HAKIKAT FIKSI
Dunia kesastraan mengenal prosa (Inggris:prose) sebagai salah satu genre sastra di samping genre-genre yang lain. Untuk mempertegas keberadaan genre prosa, ia sering dipertentangkan dengan genre yang lain, misalnya dengan puisi, walau pertentangan itu sendiri hanya bersifat teoretis. Atau paling tidak, orang berusaha mencari perbedaan antara kebudayaan. Namun, perbedaan yang “ditemukan” tidak mutlak karena ada hal-hal tertentu yang mencarikan perbedaan-perbedaan itu. Istilah prosa sebenarnya dapat menyeran pada pengertian yang lebih luas. Ia dapat mencakup berbagai karya tulis yang ditulis dalam bentuk prosa, bukan dalam bentuk puisi drama, tiap baris dimulai dari margin kiri penuh sampai ke margin kanan. Prosa dalam pengertian ini tidak hanya terbatas pada tulisan yang digolongkan sebagai karya sastra, melainkan juga berbagai karya nonfiksi termasuk penulisan berita dalam surat kabar.
B.       PEMBEDAAN FIKSI
Sebagai mana dikemukakan sebelumnya, fiksi dapat diartikan sebagai cerita rekaan  Akan tetapi, pada kenyataannya tidak semua karya yang mengandung unsur rekaan disebut sebagai karya fiksi. Dewasa ini tampaknya penyebutan karya untuk karya fiksi lebih ditunjukan terhadap karya yang berbentuk prosa naratif atau teks naratif.
1.         Novel dan Cerita Pendek
Novel dan cerita pandak merupakan dua bentuk karya sastra yang sekaligus disebut fiksi. Bahkan, dalam perkembangannya yang kemudian, novel dianggap bersinonim dengan fiksi. Dengan demukian, pengertian fiksi seperti dikemukakan di atas, juga berlaku untuk novel.
2.         Roman dan Novel
Akhirnya perlu juga dikemukakan bahwa dalam kesastraan Indonesia dikenal juga istilah roman. Istilah ini juga banyak dijumpai dalam berbagai kesastraan di Eropa. Dalam sastra (bahasa) Jerman misalnya, ada istiah ‘bidungsroman’ dan erziehungsroman yang masing-masing bearti.
3.         Novel Serius, Novel Popular, dan Novel
Dalam dunia kesastraan sering ada usaha untuk mencoba bedakan antara novel serius dan novel popular. Dibandingkan dengan pembedaan novel dengan cerpen, atau novel dengan roman di atas, usaha itu sungguh lebih tidak mudah dilakukannya, dan lebih dari itu, bersifat riskan. Pada kenyataannya sungguh tidak mudah untuk menggolongkan sebuah novel ke dalam ketegori seris atau popular. Dalam pembedaan itu, di samping dipengaruhi kesan subjektif, kesan dari luar juga menentukan. Misalnya, karena sebuah novel diterbitkan oleh penerbit yang telah dikenal sebagai sebagai penerbit buku-buku kesastraan, belum membaca ininya pun, mungkin sekali, orang telah menilai sastra yang tinggi. Untuk kasus di Indonesia misalnya oleh penerbit Pustaka Jaya.
C.      UNSUR FIKSI
Sebuah karya fiksi yang jadi merupakan sebuah bangun cerita yang menampilkan sebuah dunia yang sengaja dikreasikan pengarang. Wujud formal fiksi itu sendiri “hanya” berupa kata, dan kata-kata. Kata merupakan sarana terwujudnya bangunan cerita. Kata merupakan sarana pengucapan sastra. Sebuah novel merupakan sebuah totalitas, suatu kemenyeluruhan yang bersifat artistik. Sebagai sebuah totalitas, novel mempunyai bagian-bagiab, unsure-unsur, yang saling berkaitan satu dengan yang lain secara erat dan saling menggantungkan. Jika novel dikatakansebagai sebuah totalitas itu, unsure kata dan bahasa merupakan salah satu bagian totalitas itu, salah satu unsur pembangun cerita itu, salah satu subsistem organism itu. Kata inilah yang menyebabkan novel, juga sastra pada umumnya, menjadi berwujud.
1.         Intrinsik dan Ekstrinsik
Unsur-unsur pembangun sebuah novel—yang kemudian secara bersama membentuk sebuah totalitas itu—di samping unsure formal bahasa, masih banyak lagi macamnya. Namun, secara garis besar berbagai macam unsure tersebut secara tredisional dapat dikelompokkan menjadi dua bagian walau pembagian itu tidak benar-benar pilah. Pembagian unsure yang dimaksud adalah unsure intrinsic dan ekstrinsik.
2.         Fakta, Tema, Sarana Cerita
Stanton (1965:11-36) membedakan unsure pembangun sebuah novel ke dalam tiga bagian: fakta, tema dan sarana pengucapan (sastra). Fakta (facts) dalam sebuah cerita meliputi karakter (tokoh cerita), plot, latar. Ketiganya merupakan unsure fiksi yang secara factual dapat dibayangkan peristiwanya, eksistensinya, dalam sebuah novel. Ketiganya dapat pula disebut sebagai struktur factual dan tingkatan factual sebuah cerita. Ketiga unsur tersebut harus dipandang satu kesatuan dalam rangkaian keseluruhan cerita, bukan sebagai sesuatu yang berdiri sendiri dan terpisah satu dengan yang lain. Tema adalah sesuatu yang menjadi dasar cerita.
3.         Cerita dan Wancana
Selain pembedaan unsur fiksi seperti di atas, menurut pandangan strukturalisme, unsure fiksi dapat dibedakan ke dalam unsure cerita dan wacana. Pembedaan tersebut ada kemiripannya dengan pembedakan tradisional yang berupa unsure bentuk dan isi di atas. Pembedaan teks naratif ke dalam dua golongan itu juga dilakukan oleh kaum Formalism Rusia, yaitu yang mendekatkannya ke dalam unsur fibula dan sujet. Berdasarkan pandangan bahwa teks naratif merupakan sebuah fakta semiotik, semiotic adalah ilmu tentang tanda. Bahwa secara garis besar teks neratif dibedakan ke dalam unsure cerita dari wacana, hal itu mirip dengan pembedaan unsur bentuk dan isi di atas. Adanya berbagai pandangan tentang unsur-unsur fiksi seperti dikemukakan, bagaimanapun, lebih mempertegas bahwa teks naratif itu merupakan sebuah struktur yang kompleks.


BAB II
MEMBACA TEKS FIKSI
A.      TENTANG MEMBACA
Aktivitas membaca adalah sebuah kinerja yang misti dilakukan. Dewasa ini ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi tampaknya lebih banyak disampaikan lewat media tulisan. Bahkan, sesuatu yang yang terkategori sebagai hiburan pun banyak yang diekspresikan lewat tulisan. Maka,syarat untuk memperoleh untuk memahami, dan menikmati itu semua mesti kita rajin membaca. Mendapat pengetahan lewat kegiatan belajar di sekolah dengan guru atau dosen sebagai “instuktur” pembelajaran dapat disebut sebagai belajar lewat instruksi. Sebagian besar pengetahuan dan pemahaman kita justru mesti diperoleh lewat penemuan sendiri bacaan. Ketika  membaca, otak dan pikiran pasti aktif. Dari bermodalkan daya pikir sendiri, kita menggarap dan memahami segala sesuatu yang di kandung buku bacaan dengan cara tertentu sehingga dari tidak menggerti menjadi mengerti, dari tidak paham menjadi paham. Namun, tidak sembarang bacaan yang dapat meningkatkan pengetahuan, pemahaman, dan pengalaman.
B.       MEMBACA TEKS FIKSI
Sesuai dengan namanya, teks cerita fiksi menampilkan sebuah cerita. Cerita yang menggambarkan suatu kehidupan yang sengaja dikreasikan dengan mengandalkan kekuatan imajinasi. Itulah sebabnya drita fiksi disebut sebagai karya kreatif dan oleh Adler & Doren (2012) disebut sebagai literature imajinatif. Membaca cerita fiksi sebaiknya dilakukan secara cepat, bahkan idealya dapat diselesaikan pada satu waktu. Untuk membaca sebuah novel yang panjang, hal itu jelas tidak mungkin. Namun, ia dapat direduksi dan didapatkan.
1.         Aturan Membaca Teks Fiksi
Teks fiksi tidak sama dengan teks nonfiksi, maka membaca kedua jenis tersebut memerlukan penyikapan yang tidak sama. Teks nonfiksi jelas mengandalkan keakuratan fakta pengetahuan, sedang teks fiksi fakta imajinatif. Pertama, jika seseorang membaca teks cerita fiksi, sebaiknya menghindari hal negative yang paling penting: jangan berusaha menolak efek yang ditimbulkan oleh teks literature imajinatif dalam diri Anda. Artinya, kita harus menerima apa adanya efek yang muncul dalam diri ketika atau setelah membaca teks cerita fiksi.
Kedua, negasi ini merpakan kelanjutan keadaan di atas, yaitu : jangan mencari istilah, proposisi, dan argument dalam literatr imjinatif. Hal itu disebabkan, menurutnya, semuaitu merupakan perangkat logika, padahal dalam teks fiksi pernyataan menjadi salah satu medium pengaburan.
Ketiga, aturan negasi berikutnya dan terakhirnya, yaitu: jangan mengritik dengan kebenaran dan konsistensi yang berlaku dalam komunikasi ilmiah. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, kebenaran cerita teks fiksi tidak sama dengan kebenaran faktual atau teks-teks ilmiah nonfiksi.
2.         Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik
Dikenal adanya istilah heuristik dan hermeneutik. Kedua istilah itu, yang secara lengkap disebut sebagai pembaca heuristik dan pembacaan hermeneutik, biasanya dikaitan dengan pendekatan semiotic. Hubungan antara heuristik dan hemeneutik dapat dipandang sebagai hubungan yang bersifat gradisi sebab kegiatan pembacaan dan atau kerja hermeneutik. Kerja hermeneutic merupakan pembacaan karya sastra pada system semiotic tingkat pertama. Ia berupa pemahaman makna sebagaimana yang dikonvensikan oleh bahasa. Orang sering menyebtnya sebagai makna yang ditunjuk oleh kamus. Bekal yang dibutuhkan adalah pengetahuan tentang system bahasa itu, kompetensi terhadap kode bahasa.




BAB III
KAJIAN FIKSI
A.      Hakikat Kajian Fiksi
Istilah kajian atau pengkajian yang dipergunakan dalam penulisan ini menunjuk pada pengertian penelaahan. Istilah itu merupakan pembendaan dari kerja mengkaji, menelaah, atau meneliti. Novel dibangun dari sebuah unsur dan setiap unsur saling berhubungan, saling menentukan, dan saling mempengaruhi. Kegiatan analisis kesastraan yang mencoba memisahkan bagian-bagian dari keseluruhannya tersebut, tidak jarang dianggap sebagai kerja yang sia-sia. Untuk memahami sebuah novel, sering tidak semudah seperti yang diduga orang.
Fiksi merupakan sebuah struktur organisme yang kompleks, unik, dan kadang-kadang mempergunakan cara-cara yang tidak lazim. Tujuan utama kerja analisis kesastraan, fiksi, puisi, ataupun yang lain, adalah untuk dapat memahami secara lebih baik karya sastra yang bersangkutan. Manfaat dari kerja analisis adalah jika kita membaca ulang teks-teks fiksi yang dianalisis itu, baik teks-teks itu dianalisis sendiri maupun oleh orang lain.
B.       Pendekatan Kajian Teks Kesastraan
Telaah teks-teks kesastraan lazimnya mempergunakan pendekataan atau berdasarkan teori-teori tertentu. Mengategorikan studi kesastraan menjadi empat pendekatan yaitu pendekatan mimetik, ekspresif, objektif, dan pragmatik. Pada perkembangan selanjutnya muncul pendekatan baru yaitu:
1.         Pendekatan strukturalisme dan formalisme Rusia
a.         Strukturalisme
Sebuah teks satra, fiksi atau puisi, menurut pandangan kaum strukturalisme adalah sebuah totalitas yang dibangun secara keherensi oleh berbagai unsur (pembangun)-nya. Setiap teks kesastraan memiliki sebuah struktur yang unik yang khas yang menandai kehadirannya. Strukturalisme dapat dipandang sebagai suatu pendekatan kesastraan yang menekankan pada kajian hubuungan antar unsur pembangun karya yang bersangkutan. Strukturalisme bukan merupakan pandangan tunggal dan bahkan dikenal juga diberbagai disiplin keilmuan yang lain. Strukturalisme memberikan perhatian terhadap kajian unsur-unsur teeks kesastraan. Analisis struktural tidak cukup dilakukan hanya sekadar mendata unsur tertentu sebuah karya fiksi, misalnya peristiwa, plot, tokoh, latar, atau yang lain. Strukturalisme tampak begitu mementingkan objek dan meniadakan pengarang, maka kadang dipandang sebagai antihumanis.
b.        Formalisme Rusia
Formalisme Rusia sengaja digabungkan dengan strukturalisme karena pandangan ini merupakan awal kebangkitan strukturalisme selain juga hanya masalah penempatan. Dalam kajian teks kesastraan Kaum Formalisme Rusia lebih mengutamakan aspek bentuk dari pada isi.
Teks sastra yang bagus adalah yang membuat kita pembaca terusik, terhentak sejenak, karena dibawa untuk melihat dunia dengan cara yang tidak lazim, keluar dari rutinitas. Kaum Formalis Rusia juga fokus pada teknik penceritaan. Hubungan sintagmatik dan paradigmatik dapat juga dikaitkan dengan kajian dari aspek waktu.
2.         Pendekatan semiotik
Dalam pandangan semiotik yang berasal dari teori saussure bahasa merupakan sebuah sistem tanda. Peletak dasar teori semiotik yaiti, Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders Peirce. Semioti model Saussure bersifat semiotik struktural, model peirce bersifat semiotik analitik. Semiotik adalah ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Perkembangan semiotik dapat dibedakan ke dalam dua jenis, yaitu semiotik komunikasi dan semiotik signifikasi.
a.         Teori semiotik Peirce
 Teori Peirce mengatakan bahwa sesuatu itu dapat disebut sebagai tanda jika ia mewakili sesuatu yang lain
b.        Teori Semiotik saussure
  Teori Saussure sebenarnya berkaitan dengan pengembangan teori linguistik secara umum, maka istilah-istilah yang dipakai untuk bidang kajian semiotik meminjam dari istilah dan model linguistik.
3.         Pendekatan intertekstual
Kajian intertekstual dimaksudkan sebagai kajian terhadap sejumlah teks, yang diduga mempunyai bentuk-bentuk hubungan tertentu. Kajian intertekstual berangkat dari asumsi bahwa kapan pun karya tulis, ia tidak mungkin lahir dari situasi kekosongan budaya. Teks-teks kesastraan yang dijadikan dasar penulisan bagi teks yang kemudian disebut dengan hipogram.
4.         Pendekatan dekonstruksi
Model pendekatan dekonstruksi ini dalam bidang kesastraan khususnya fiksi, dewasa ini terlihat banyak diminati orang sebagai salah satu model atau alternatif dalam kegiatan pengkajian sastra. Dekonstruksi menolak pandangan bahwa bahasa telah memiliki makna yang pasti, tertentu, dan konstan, sebagaimana halnya pandangan srukturalisme klasik.
5.         Pendekatan psikoanalisis
Pendekatan psikoanalisis berangkat dari konsep psikologi, yaitu psikoanalisis yang diteorikan oleh Sigmud Freud. Freud membagi struktur kepribadian manusia ke dalam tiga kategori yang saling berkaitan, yaitu id, ego, dan superego
6.         Pendekatan feminisme
Maggie Hum (Wiyatmi, 2012:10) mengemukakan bahwa feminisme menggabungkan doktrin persamaan hak bagi perempuan menjadi gerakan yang terorganisasi untuk mencapai hak asasi dengan sebuah ideologi transformasi sosial yang bertujuan menciptakan dunia bagi perempuan. Feminisme juga bukan merupakan gerakan atau paham baru karena sudah bermula bahkan sejak abad ke-19.  
BAB IV
TEMA
A.      HAKIKAT TEMA
Setelah selesai membaca sebuah cerita fiksi biasanya akan menghadapkan diri pada sebuah pertanyaan .Hal-hal yang dipertanyakan itu,memang,pada umumnya tidak diungkapkan secara eksplisit sehingga untuk memperolehnya di perlikan suatu penafsiran.Mempertanyakan makna sebuah karya sebenarnya juga juga berarti  mempertanyakan tema.Tema yang merupakan motif pengikat keseluruhan cerita biasanya tidak semerta-merta ditunjukuan.
Usaha mendefinisikan temasebagaimana dengan usaha pendefinisian hal-hal yang lainya.Setiap orang tahu apa itu pensil dan mobil,namun belum tentu dapat mendefinisikan.Masalah seperti itulah yang sering kita jumpai terhadap persoalan tema baik untuk menjelaskan pngertian tema maupun untuk mendiskripsikan pernyataan tema.Kejelasan pengertian tema akan membantu usaha penafsiran dan pendeskripsian pernyataan tema sebuah cerita fiksi.
Stanton(1965:20) dan Kenny (1966:88) mengemukaka bahwa tema adalah makna yang dikandun dlam sebuah cerita.Untuk menentukan makna pokok sebuah novel ,kita perlu memiliki kejelasan pengertian tentang makna pokok atau tema itu sendiri.Baldic(2001:258) mengemukakaj bahwa tema adalah gagasan abstrak utama yang terdapat dalam sebuah karya sastra atau yang secara yang terulang-ulang dimunculkan baik secara eksplisit maupun implisit lewat pengulangan motif.
Jadiu tema adalah gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra sebagai struktur semantis dan bersifat abstrak yang secara berulang-ulang dimunculkan lewat motif-motif dan biasanya dilakukan secara implisit.Dengan demikian untuk menemukan tema sebuah kjarya fiksi,ia haruslah disimpilkan dari keseluruhan cerita,tidak hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu cerita.
Pengertian tema sebagaimana dikemukakan oleh Stanton(1965:21) yaitu tema sebagai makna sebuah cerita yang secara khusus menerangkan sebagian besar unsurnya dengan cara yang sderhana.Tema dengan demikian dapat dipandang sebagai dasar cerita ,gagasan dasar umum,nsebuah karya novel.
B.       TEMA: MENGANGKAT MASALAH KEHIDUPAN
Ada masalah-masalah kehidupan tertentu yang bersifat universal.Artinya, hal itu akan dialami oleh setiap orang dimanapun dan kapanpun walau dengan tingkat intensitas yang tidak sama.Tema sebuah karya sastra selalu berkaitan dengan makna kehidupan.Dengan pengarang menawarkan makna tertentu kehidupan,mengajak untuk melihat merasakan dan menghayati makna.Fiksi mengangkat berbagai masalah dan pengalaman kehidupan baik berupa pengalaman yang bersifat individu  maupn sosial.Masalah cinta tak sampai.Misalnya dianka menjadi tema dalam banyak novel seperti azab dan sengsara, Sitti Nurbaya, Si Cebol Rindukan Bulan, Di Bawah lindungan Kakbah, dan Tenggelamnya Kapal van Der Wijk  masing-masing oleh merari siregar,Marah Rusli, Aman datuk Modjoindo, Hmka.
Novel dapat menyampaika dialog yang mampu menggerakan hati masyarakat pembaca.Namun hal itu tidak berarti bahwa tema kemanusiaan yang ingin didialogkan harus ditonjolkan sedemikian rupa sehingga “mengalahkan” unsur-unsur fiksi yang lain,namn harys tetap berada pada “proporsi”yang semestinya sebagaiman halnya penulisan karya seni yang menekankan tujuan estetik.Masalah kebenaran da kaitannya dengan tema, yaitu tema yang ingin disampaikan dilakukan dengan cara “pembenaran” sesuatu, baik ia berisi peristiwa, konflik, perwatakan tokoh, hubungan tokoh, maupun unsur-unsur yang terkait.
C.      TEMA DAN UNSUR CERITA YANG LAIN
Tema dalam sebuah karya sastra, fiksi, hanyalah salah sat dari jumlah unsur pembangu ceritayang lain yang secara bersama membentuk sebuah penyeluruhan.Denagn demikian, swebuah tema baru aka menjadi makna cerita jika ada dalam keterkaitannya dengan unsur-unsur cerita lainnya.Di pihak lain, unsur-unsur tokoh, plot, latar, dan cerita menjadi padu jika diikat oleh sebuah tema.Tema berfungsi memberi sebuah koherensi dan makna terhadap keempat unsur tersebut dan juga berbagai unsur fiksi yang lain.
Plot pada hakikatnya adalah apa yang dilakukan oleh tokoh dan peristiwa apa yang terjadi dan dialamu oleh tokoh (Kenny, 1966:95).Latar merupakan tempat, saat, dan keadaan sosial yang menjadi wadah tempat tokoh melakukan dan dikenai suatu kejadian, latar adalah yang membentuk karakter tokoh.Pemlihan latar yang kurang sesuai dengan unsur cerita yang lain, khususnya unsur tokoh dan tema, dapat menyebabkan cerita menjadi kurang meyakinkan.Kehadiran unsur intrinsik dalam cerita fiksi dimaksudkan untuk membangun cerita.Dengan demikian, dilihat dari sudut ini cerita merupakan sarana untuk menyampaikan tema, makna, atau tujuab penulis cerita fiksi itu.
Jika berhadapan dengan teks-teks fiksi, yang notabene cerita rekaan itu, yang kita jumpai adalah cerita.Yang jelas, kelancaran cerita karen didukung oleh penempatan tema secara padu dan koherensi dengan unsur-unsur pembangun yang lain, akan lebih baik dari pada cerita yang tersendat dan terlalu menonjolkan tema.
D.      PENGGOLONGAN TEMA
Tema daoa digolongkan ke dalam beberapa kategori yang berbeda.Pengkategorian tema yang akan dikemukakan berikut ini:
1.        Tema tradisional dan Nontradisional
Tema tradisional dimaksudkan sebagai tema yang menunjukan pada tema yang hanya “itu-itu” saja, dalam arti tema itu telah lama dipergunakan dan dapat ditemukan dalam berbagai cerita termasuk cerita lama.Pada umumnya te,ma tradisional merupakan tema yang digemari orang dengan status sosial apapun, dimanapun, dan kapan pun
2.        Tingkatan Tema Menurut Shipley
Dalam Dictionary of World Literature, Shipley (1962:417) mengartika tema sebagai subjek wacana, topik umum, atau masalah utama yang dituangkan kedalam cerita.
a.         Pertama, tema tingkat fisik, manusia sebagai molekul.
b.         Kedua, tema tingkat organik, manusia sebagai protoplasma.
c.         Ketiga, tema tingkat sosial, manusia sebagai makhluk sosial.
d.        Keempat, tema tingkat egois, manusia sebgai individu.
e.         Kelima, tema tingkat divine, manusia sebagai makhluk tingkat tinggi.
3.        Tema Utama dan Tema Tambahan
Tema pada hakikatnya merupakan makna yang dikandung cerita, atau secara singkat dikatakan sebagai makna cerita. Makna pokok cerita tersirat dalam sebagian besar, untuk tidak dikatakan dalam keseluruhan cerita. Makna-makna tambahan bukan merupakan sesuatu yang berdiri sendiri, terpisah dari makna pokok cerita yang bersangkutan berhubung sebuah novel yang jadi merupakan satu kesatuan.
E.      PENAFSIRAN TEMA
Kegiatan menafsirkan tema sebuah cerita fiksi, barangkali, merupakan tugas yang paling banyak dibebankan pada peserta didik.Dalam kegiata pembelajaran, jalan pintas yang sering pak guru adalah memberitahukan bahka mungkin sekali:mendiktekan atau memberi tahu tema novel-novel itu kepada peserta didik.Penafsiran tema dalam sebuah novel memang bukan pekerjaan yang mudah seperti tampaknya.Walau betul penulisan sebuah novel didasarkan pada tema atau ide tertentu.Karena tema tersembunyi dibalik cerita, penafsiran terhadpnya haruslah dilakukan terhadap fakta-fakta yang ada yang secara keseluruhan membangun cerita itu.
Dalam sebuah cerita fiksi, lazimnya ada tokoh utama, koflik utama, dan tema utama.Stanton(1965:22-23) mengemukakan adanya sejumlah kriteria yang dapat diikuti seperti ditunjukan berikut:
1.         Pertama, penafsiran tema sebuah novel hendaknya mempertimbngkan tiap detil cerita yang menonjol.
2.         Kedua, penfsiran tema sebuah novel hendaknya tidak bersifat bertentangan dengan tiap detil cerita.
3.         Ketiga, penafsiran tema sebuah novel hendaknya tidak mendasarkan diri pada bukti-bukti yng tidak dinyatakan baik secara langsung maupun tidak langsung dalam novel yang tidak bersangkutan.
4.         Keempat, penafsira tema sebuah novel haruslah mendasarkan diri pada bukti-buki yang secara langsung ada dan atau yang disarankan dalam cerita.



















BAB V
CERITA
A.      Hakikat Cerita
Membaca sebuah cerita fiksi, novel, ataupun cerpen, pada umumnya yang pertama-tama menarik perhatian orang adalah ceritanya. Faktor cerita inilah terutama yang mempengaruhi sikap dan selera orang terhadap buku yang akan, sedang, atau sudah dibacanya. Membaca sebuah buku cerita akan memberikan semacam kenikmatan dan kepuasan tersendiri dihati pembaca, baik ia pembaca awam maupun pembaca yang dapat dikategorikan sebagai kritikus.  Aspek cerita (story) dalam sebuah karya fiksi merupakan suatu hal yang amat esensial. Ia memiliki peranan sentral. Dari awal hingga akhir karya itu yang ditemui adalah cerita. Tanpa unsur cerita, eksistensi sebuah fiksi tidak mungkin berwujud. Forster (1970:35) mengartikan cerita sebuah narasi sebagai kejadian yang sengaja disusun berdasarkan uurtan waktu. Seperti halnya Forster, Abrams (1999:173) juga memberikan pengertian cerita sebagai sebuah urutan kejadian yang sederhana dalam urutan waktu, dan Kenny (1966:12) mengartikan sebagai peristiwa-peristiwa yang terjadi berdasarkan urutan waktu yang disajikan dalam sebuah karya fiksi. Makaryk (1995:632) mengemukakan bahwa cerita merupakan peristiwa yang temporal. Pengertian yang tidak berdeda, Baldic (2001:244) mengemukakan bahwa cerita adalah pengisahan pengurutan peristiwa.
B.       Cerita dan Plot.
Cerita dan Plot merupakan dua unsur fiksi yang amat erat berkaitan sehingga keduanya tidak mungkin dipisahkan. Oleh karena itu, sebenarnya dapat juga dikatakan bahwa dasar pembicaraan cerita adalah plot, dan dasar pembicaraan plot adalah cerita. Terdapat perbedaan inti permasalahan antara cerita dan plot. Cerita sekedar mempertanyakan apa dan atau bagaimana kelanjutannya peristiwa, sedang plot lebih menekankan permasalahannya pada hubungan kausalitas, kelogisan hubungan antar peristiwa yang dikisahkan dalam karya naratif yang bersangkutan. Forster (1970:94) merupakan perbedaan fundamental antara cerita dan plot tersebut. Perbedaan itu kiranya dapat disejajarkan dengan pembedaan antara fabula dan sujet yang diteorikan oleh kaum formalisme Rusia. Cerita lebih dekat dengan fabula, sedang plot adalah sujet itu.
C.      Cerita dan pokok permasalahan
Pokok permasalahan merupakan suatu hal yang diangkat kedalam cerita sebuah karya fiksi. Terdapat berbagai permasalahan yang sering dihadapi manusia, misalnya permasalahan hubungan antar manusia, sosial, hubungan manusia dengan tuhan, dengan lingkungan, dengan diri sendiri, dan sebagainya. Permasalahan yang telah dipilih dan kemudian diolah untuk menjadikan cerita dalam sebuah karya fiksi dapat disebut sebagai isi cerita, Kenny (1966:10) mengemukakan bahwa terdapat perbedaan antara pokok permasalahan dan isi cerita. Isi cerita adalah sesuatu yang dikisahkan dalam sebuah teks fiksi. Pemilihan pokok permasalahan ke dalam sebuah teks fiksi biasanya ada kaitannya dengan pemilihan tema. Tema mungkin sekali disarikan dari pokok permasalahan (yang telah menjadi isi cerita) yang diungkapkan, atau sebaliknya. Oleh karena itu amat dimungkinkan adanya beberapa pokok masalah yang berbeda, namun memiliki kesaman tema.
D.      Cerita dan fakta
Sebuah karya mungkin saja ditulis berdasarkan data-data faktual, persitiwa, dan sesuatu yang lain yang benar-benar ada dan terjadi. Namun, dapat pula ditulis “hanya” berdasarkan peristiwa dan sesuatu yang dibayangkan. Masalah ketegangan hubungan antara yang nyata dan yang rekaan dalam teks-teks kesastraan sudah dipersoalkan oleh Aristoteles, yaitu dengan teori mimetik dan creation-nya. Yang pertama menunjuk pada peniruan (atau bahkan:pengambilan) model kehidupan nyata, sedang yang kedua pada penciptaan model kehidupan sesuai dengan kemampuan kreativitas pengarang. Adanya fiksi yang benar-benar hasil kreasi imajinasi, kita dapat juga menemukan fiksi yang mengambil bahan sejarah. Penulisan sejarah terikat pada data-fakta yang benar ada dan terjadi, data fakta yang memiliki validitas empiris yang dapat dipertanggung jawabkan. Walau mendasarkan diri pada fakta sejarah, fiksi jauh lebih memiliki unsur kebebasan, ia dapat memadukan fakta sejarah dan fakta imajinatif dengan mesra. Karangan yang mengandung unsur imajinasi sebenarnya bukan hanya monopoli karya fiksi yang sering disebut sebagai karya imajinatif, sebaliknya karangan yang mempergunakan data dan peristiwa faktual juga bukan merupakan monopoli karya nonfiksi. Unsur imajinasi jauh lebih menonjol dalam karya fiksi, sedang unsur realitas lebih menonjol dalam karya nonfiksi.
















BAB VI
PLOT
A.      HAKIKAT PLOT DAN PEMLOTAN
Plot merupakan unsur fiksi yang penting, bahkan tidak sedikit orang yang menganggapnya sebagai yang terpenting diantara berbagai unsur fiksi yang lain. Tinjauan struktural terhadap teks fiksi pun sering lebih ditekakan pada pembicara plot walau mungkin mempergunakan istilah lain. Sebuah plot teks fiksi yang kompleks, ruwet, dan sulit dikenali hubungan klausalitas antar peristiwa, menyebabkan cerita menjadi lebih sulit dipahami. Itulah sebabnya novel yang lebih bersifat menceritakan sesuat, atau tujuan utamanya adalah menyampaikan cerita-ingat karakteristik novel populer-akan selalu memilih cara-cara pemlotan yang sederhana, bahkan tidak jarang menjadi bersifat stereotip. Novel yang tergolong aluran akan sangat memperhatikan struktur plot sebagai salah satu kekuatan novel itu untuk efek estetis.
Staton (1965:14) misalnya, mengemukakan bahwa plot merupakan cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadi peristiwa yang lain. Karena terkaitan antar perisiwa itu sering tidak langsung dan tempatnya secara linier berjauhan, untuk memahaminya dengan baik, masih memerlukan penjelasan. Disinilah letak pentingnya daya intelektual sebagaimana yang di maksud Foster daya intelektual memerlukan daya ingat memori yang dianggap sebagai sesuatu yang penting walau sebenernya yang terjadi lebih dari sekedar kognitif mengingat saja
B.       PERISTIWA, KONFLIK, DAN KLIMAKS
Peristiwa, konflik, dan klimaks merupakan tiga unsur yang amat esensial dalam pengembangan sebuah plot cerita. Eksetensi plot itu sendiri sangat ditentukan oleh tiga unsur tersebut.
1.         Peristiwa
Peristiwa dapat diartikan sebagai peralihan dari suatu keadaan ke keadaan yang lain(Luxenburg dkk,  1992:150)peraliahan satu aktivitas ke aktivitas yang lain. Peristiwa Fungsional, kaitan, acuan. Peristiwa funsional adalah peristiwa-peristiwa yang menentukan dan atau mempengaruhi perkembangan plot. Peristiwa kaitan adalah peristiwa yang berfungsi mengaitkan peristiwa penting dalam pengurutan penyajian cerita atau secara plot. Peristiwa acuan adalah peristiwa yang tidak secara langsung berpengaruh dan atau berhubungan dengan perkembangan plot, melainkan mengacu pada unsur-unsur lain.
2.         Konflik
Konflik(conflict), yang notabene adalah kejadian yang tergolong penting, akan berupa peristiwa fungsional, utama, atau kernel dalam pengatagorian. Konflik menunjuk pengertian sesuatu hal yang bersifat tidak menyenangkan yang terjadi dan atau dialami oleh tokoh-tokoh cerita, yang jika tokoh-tokoh itu mempunyai kebebasan untuk memilih ia(mereka) tidak akan memilih peristiwa itu menimpa dirinya(meridith & Fitzgereald, 1972:72). Konflik ada dua jenis yaitu konflik eksternal dan internal. Pengetian konfli eksternal merupakan konflik yang terjadi antara seorang tokoh dengan sesuatu yang luar dirinya, mengkin lingkungan alam, manusia atau tokoh lainnya. Sedangkan konflik internal merupakan konflik yang terjadi dalam hati dan pikiran, dalam jiwa seorang tokoh.
C.      Kaidah pemlotan
Novel merupakan sebuah karya yang bersifat imajinatif dan kreatif. Sifat kreatif itu antara lain terlihat pada kebebasan pengarang untuk mengemukakan cerita, peristiwa, konfik, tokoh dan lain-lain. Kaidah pemlotan antara lain plausibilitas, adanya unsur kejutan, rasa ingin tahu, dan kepaduan ( kenny, 1966:19-22).
1.         Plausibilitas adalah suatu hal yang dapat dipercayai
2.         Rasa ingin tahu adalah membangkitkan rasa ingin tahu dihati pembaca
3.         Adanya unsur kejutan adalah rasa ingin tahu pembaca juga mampu menunjukan kejutan sesuatu yang bersifat mengejutkan.
4.         Kesatupaduan adalah bahwa berbagai unsur yang tampil khususnya peristiwa dan konflik memiliki keterkaitan.
D.      Penahapan plot
Secara teoritis plot dapat diuritkan dalam tahap-tahap tertentu secara kronologis, secara teoritis dan kronologis struktur plot dibicarakan seperti dibawah ini.
1.         Tahap plot awal tengah akhir
Tahap awal sebuah cerita biasanya disebut sebagai tahap perkenalan. Tahap perkenalan pada umumnya berisi sejumlah informasi penting yang berkaitan dengan berbagai hal yang akan dikisahkan pada tahap-tahap berikutnya. Tahap tengah cerita menampilkan pertentangan dan atau konflik yang sudah mulai dimunculkan pada tahap sebelumnya. Tahap akhir menampilkan adegan tertentu sebagai akibat klimaks.  
2.         Tahap plot: rician lain
a.         Tahap situation
Tahap penyituasian, tahap yang terutama berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh-tokoh cerita
b.        Tahap generating circumstances
Tahap pemunculan konflik, masalah-masalah dan peristiwa-peristiwa yang menyulut terjadinya konflik mulai dimunculkan.
c.         Tahap rising action
Tahap peningkatan konflik, konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan dikembagkan kadar intensitasnya.  
d.        Tahap climax
Konflik atau pertentangan yang terjadi, yang dilakukan dan atau ditimpakan kepada para tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak
e.         Tahap denaoument
Tahap penyelesaian, konflik yang telah mencapai klimaks diberi jalan keluar, cerita diakhiri.
3.         Diagram struktur plot
Konflik dimuncukan dan semakin ditingkatkan. Konflik dan keterangan dikendorkan atau diselesaikan. Inseting forces menunjuk pada hal-hal yang semakin meningkat konflik menjadi klimaks
4.         Pembedahan plot
Plot dikatagorikan kedalam beberapa jenis yang berbeda berdasarkan sudut tinjauan kriteria yang berbeda.
a.         Pembedaan plot berdasarkan kriteria ukuran waktu
Waktu terjadi peristiwa yang diceritakan dalam teks fiksi yang bersangkutan.
b.        Pembedaan plot berdasarkan kriteria jumlah
Sebagai banyaknya plot cerita yang terdapat dalam sebuah fiksi.
c.         Pembedaan plot berdasarkan krteria kepadatan
Sebagai padat pengembangan dan perkembangan cerita pada sebuah fiksi.
d.        Pembedaan plot berdasarkan kriteria isi
Sebagai sesuatu masalah kecenderungan masalah, yang di ungkapkan dalam cerita.
5.         Contoh kajian plot
Ditunjukan salah satu penelitian tentang plot yang berangkat dari konsep fabula dan sujet terhadap novel saman (ayu utami). Penelitian struktur plot segaja diakukan pada novel itu karena dilihat dari segi pemlotan, saman terlihat lain dari novel-novel sebelumnya.






BAB VII
TOKOH
A.      Unsur Penokohan dalam Fiksi
Toko dan penokohan merupakan unsur yang penting dalam cerita fiksi.
1.         Hakikat penokohan
Dalam pembicaraan sebuah fiksi, sering dipergunakan istilah-istilah seperti tokoh dan penokohan watak dan perwatakan, atau karakter dan karakterisasi secara bergantian dengan menunjuk pengertian yang hampir sama. Istilah tokoh menunjuk pada orangnya, pelaku cerita, misalnya sebagai jawaban terhadap pertanyaan: “Siapakah tokoh utama novel itu?” penggunaan istilah karakter dalam berbagai lieratur bahasa inggris menyaran pada dua pengetian yang berbeda, yaitu sebagai tokoh cerita yang ditampilkan dan sebagai sikap ketertarikan, keinginan, emosi, dan prinsip moral yang dimiliki tokoh-tokoh tersebut.
Tokoh cerita adalah orang-orang yang ditampilkan dalam sesuatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Istilah penokohan lebih luas pengertiannya dari pada tokoh dan perwatakan.
Kewajaran. Fiksi adalah suatu bentuk karya kreatif, maka bagaimana pengarang mewujudkan dan mengembangkan tokoh-tokoh ceritanya pun tidak lepas dari kebebasan kreativitasnya. Walau tokoh cerita ‘hanya’ merupakan tokoh ciptaan pengarang, ia haruslah merupakan seorang tokoh yang hidup secara wajar. Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, moral, atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca.
Kesepertihidupan. Masalah kewajaran tokoh cerita sering dikaitkan dengan kenyataan kehidupan manusia sehari-hari.  Usaha memahami atau menilai tokoh cerita hanya mendasarkan diri pada kriteria kesepertihidupan saja tidak cukup atau bahkan tidak tepat. Realitas kehidupan manusia memang perlu dipertimbangkan dalam kaitannya dengan kehidupan tokoh cerita.
Tokoh rekaan versus tokoh nyata. Tokoh-tokoh cerita yang ditampilkan dalam fiksi, sesuai dengan namanya yang adalah tokoh rekaan, tokoh yang tidak pernah ada di dunia nyata. Pengangkatan tokoh sejarah dalam cerita fiksi dan berhubungan langsung dengan tokoh-tokoh cerita, justru semakin mempertinggi kadar fiksionalitas karya yang bersangkutan.  Pengangkatan tokoh sejarah dalam cerita fiksi umumnya bukan berstatus tokoh utama.
2.         Penokohan dan unsur cerita yang lain
Penokohan merupakan bagian, unsur, yang bersama dengan unsur-unsur yang lain membentuk sebuah totalitas. Penokohan sebagai salah satu unsur pembangun fiksi dapat dikaji dan dianalisis keterjalinannya dengan unsur-unsur pembangun lainnya.
Penokohan dan pemlotan. Plot merupakan sesuatu yang bersifat artifisial. Penokohan dan pemlotan merupakan dua fakta cerita yang saling memengaruhi dan menggantungkan satu dengan yang lain.
Penokohan dan tema. Sebagai unsur utama fiksi, penokohan erat hubungan dengan tema. Dalam kebanyakan cerita fiksi, tema umumnya tidak dinyatakan secara eksplisit.  Usaha penafsiran tema antara lain dapat dilakukan melalui detail kejadian dan atau konflik yang menonjol.
3.         Relevansi tokoh
Pembaca sering memberikan reaksi emotif tertentu seperti merasa akrap, simpati, empati, benci, antipati, atau berbagai reaksi afektif lainnya. Salah satu bentuk relevansi tokoh sering dihubungkan dengan keadaan kesepertihidupan, lifelikeness. Pengarang mempunyai kebebasan menciptakan tokoh yang bagaimanapun. Jika dengan kriteria kesepertihidupan pengaaman tokoh cerita dengan pengalaman kehidupan kita dianggap sebagai bentuk relevensi. Pembedaan antara tokoh utama dan tokoh tambahan tidak dapat dilakukan secara eksak.
4.         Tokoh protagonis dan tokoh antagonis
Tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi yang salah satu jenisnya secara populer disebut hero-tokoh yang merupakan pengejawantahan norma-norma nilai yang ideal bagi kita. Tokoh antagonis adalah tokoh yang beroposisi dengan tokoh protagonis, secara langsung ataupun tidak langsung, bersifat fisik ataupun batin. Tokoh antagonislah yang menyebabkan timbulnya konflik dan ketegangan sehingga cerita menjadi menarik. Konflik yang dialami oleh tokoh protagonis tidak harus hanya yang disebabkan oleh tokoh antagonis seorang (beberapa orang) individu yang dapat ditunjuk secara jelas. Penyebab terjadinya konflik dalam sebuah novel, mungkin berupa tokoh antagonis, kekuatan antagonis, atau keduanya sekaligus. Menentukan tokoh-tokoh cerita ke dalam protagonis dan antagonis kadang-kadang tidak mudah, atau paling tidak, orang bisa berbeda pendapat.
Umumnya pembaca dapat mengerti, memahami, dan sebagaimana halnya dengan larasati memaafkan kekeliruannya itu. Seorang tokoh cerita dapat berubah, khususnya pada tokoh yang berkembang, sehingga tokoh yang semula diberi rasa antipati belakangan justru menjadi disimpati, atau sebaliknya.
5.         Tokoh sederhana dan tokoh bulat
Pembedaan tokoh sederhana dan tokoh bulat dilakukan berdasarkan perwatakannya. Tokoh sederhana, dalam bentuknya yang asli, adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat watak tertentu saja. Tokoh sederhana dapat saja melakukan berbagai tindakan, namun semua tindakannya itu akan dapat dikembalikan pada perwatakan yang dimiliki dan yang telah diformulakan itu.
Tokoh bulat adalah tokoh yang memiliki dan diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian, dan jati dirinya. Tokoh kompleks, dengan demikian, lebih sulit dipahami dan terasa kurang familiar karena yang ditampilkan adalah tokoh-tokoh yang kurang akrap dan kurang dikenal.
Tingkat kompleksitas. Pembedaan tokoh ceria ke dalam kategori tokoh sederhana dan kompleks sebenarnya lebih bersifat teoretis sebab pada kenyataannya  tidak ada ciri pembedaan yang pilah di antara keduanya. Pembedaan ke dalam tokoh sederhana dan kompleks masing-masing sebagai tokoh yang hanya diungkapkan satu sisi dan berbagai sisi kehidupannya.
Fungsi. Tokoh sederhana tampak kurang sesuai dengan realitas kehidupan sebab tidak ada seoranga pun yang hanya memiliki satu sifat watak tertentu. Tokoh kompleks atau pun sederhana haruslah dilihat dari dipertimbangkan dari fungsinya dalam keseluruh cerita. Tokoh sederhana tetap diperlukan kehadirannya dalam sebuah novel. Sebuah novel biasanya menyajikan cerita yang cukup panjang sehingga mungkin sekali menampilkan tokoh utama bulat. Pengembangan tokoh bulat, dipihak lain lebih memerlukan daya kreativitas tinggi. Tokoh sederhana akan mudah dikenal di manapun dia hadir dan mudah diingat oleh pembaca. Untuk menampilkan tokoh sederhana yang sebagai tokoh utama, perlu dibedakan ke dalam tokoh sederhana sterotip sebagai pengganti imajinasi dan tokoh sederhana yang diindividualkan.
6.         Tokoh statis dan tokoh berkembang
Tokoh statis adalah tokoh cerita yang secara esensial tidak mengalami perubahan dan atau perkembangan perwatakan sebagai akibat adanya peristiwa-peristiwa yang terjadi. Tokoh berkembanga, di pihak lain, adalah tokoh cerita yang mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan sejalan dengan perkembangan (dan perubahan) peristiwa  dan plot dikisahkan. Dalam penokohan yang bersifat statis dikenal dengan adanya tokoh hitam dan putih, yaitu tokoh yang statis hitam dan statis putih. Tokoh hitam putih biasanya akan cepat menjadi stereotip karena sebenarnya mereka merupakan pengejawantahan ajaran moral kita yang bersifat baik buruk dan stereotip juga mudah dan cepat dikenal sebagai tokoh simbol tertentu.
7.         Tokoh tipikal dan tokoh netral
Tokoh tipikal adalah tokoh yang hanya sedikit ditampilkan keadaan individualitasnya dan banyak ditonjolkan kualitas pekerjaan atau kebangsaannya, atau sesuatu yang lain yang lebih bersifat mewakili. Tokoh netral adalah tokoh cerita yang bereksistensi demi cerita itu sendiri. Penokohan tokoh cerita secara tipikal pada hakikatnya dapat dipandang sebagai reaksi, tanggapan, penerimaan, tafsiran, oleh pengarang terhapap tokoh manusia di dunia nyata. Tokoh tipikal dalam sebuah novel mungkin hanya seorang atau beberapa orang saja, misalnya sebatas tokoh utama atau mungkin tokoh tambahan.
B.       Teknik penulisan tokoh
1.         Teknik eksporitoris
Dalam teknik eksporitoris, yang sering disebut sebagai teknik analitis, penuisan tokoh cerita dilakukan dengan memberikan deskripsi, uraian, atau penjelasan secara langsung. Pengarang dengan cepat dan singkat dapat mendeskripsikan jati diri tokoh ceritanya. Pemertahanan pola kedirian tokoh dapat teretak pada konsistensi pemberian sifat, sikap, watak, tingkah laku, dan juga kata-kata yang keluar dari tokoh yang bersangkutan. Deskripsi kedirian tokoh yang dilakukan secara langsung oleh pengarang akan berwujud penuturan yang bersifat deskriptif pula. Kedirian tokoh telah dideskripsikan secara jelas, pembaca seolah-olah kurang didorong dan diberi kesempatan.
2.         Teknik dramatik
Penampilkan tokoh cerita dalam teknik dramatik, artinya mirip dengan yang ditampilkan pada drama, yaitu dilakukan secara tidak langsung. Kelebihan teknik dramatik adalah sifatnya yang lebih sesuai dengan situasi kehidupan nyata. Dalam kehidupan sehari-hari kita pun rasanya hampir tidak pernah “mendeskripsikan” sifat-sifat atau watak orang lain. Kelemahan teknik dramatik adalah sifatnya yang tidak ekonomis.
Wujud penggambaran teknik dramatik. Penampilan tokoh secara dramatik dapat dilakukan lewat sejumlah teknik.
3.         Teknik cakapan
Percakapan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh cerita biasanya juga dimaksud untuk menggambarkan sifat-sifat tokoh yang bersangkutan. Untuk mengenal secara lebih lengkap, kita harus menafsirkannya dari keseluruhan wacana cerita, khususnya lewat teknik-teknik pelukisan karakteristik kedirian tokoh yang lain.
4.         Teknik tingkah laku
Teknik tingkah laku menunjuk pada tindakan nonverbal, fisik. Dalam sebuah cerita fiksi, kadang-kadang tampak ada tindakan dan tingkah laku tokoh yang tampak netral, kurang menggambarkan sifat kediriannya.
5.         Teknik pikiran dan perasaan
Pada hakikatnya “tingkah laku” pikiran dan perasaanlah yang kemudian diejawantahkan menjadi tingkah lak verbal dan non verbal itu. Pembaca akan dapat menafsirkan sifat-sifat kedirian tokoh itu berdasarkan jalan pikiran dan perasaannya itu. Teknik pikiran dan perasaan dapat ditemukan dalam teknik cakapan dan tingkah laku.
6.         Teknik arus kesadaran
Teknik arus kesadaran berkaitan erat dengan teknik pikiran dan perasaan. Aliran kesadaran berusaha menangkap dan mengungkapkan proses kehidupan batin, yang memang hanya terjadi di batin, baik yang ada diambang kesadaran maupun ketidak sadaran, termasuk kehidupan bawah sadar.
7.         Teknik reaksi tokoh
Teknik reaksi tokoh dimaksudkan sebagai reaksi tokoh terhadap suatu kejadian, masalah, keadaan, kata, dan sikap tingkah laku orang lain, dan sebagainya yang berupa “rangsang” dari luar tokoh yang bersangkutan.
8.         Teknik reaksi tokoh lain
Reaksi tokoh-tokoh lain dimaksudkan sebagai reaksi yang diberikan oleh tokoh lain terhadap tokoh utama, atau tokoh yang dipelajari kediriannya, yang berupa pandangan, pendapat, sikap, komentar, dan lain-lain.
9.         Teknik penulisan latar
Suasana latar sekitar tokoh juga sering dipakai untuk melukiskan jati dirinya. Suasana latar sering juga kurang ada hubungannya dengan penokohan, paling tidak hubungan tidak langsung.
10.     Teknik penulisan fisik
Pelukisan keadaan fisik tokoh, dalam kaitannya dengan penokohan, kadang-kadang memang terasa penting. Keadaan fisik tokoh perlu dilukiskan, terutama jika ia memiliki bentuk fisik khas sehingga pembaca dapat menggambarkan secara imajinatif.
11.     Catatan tentang identitas tokoh
Pada awal cerita, pembaca belum mengenal tokoh, namun sejalan dengan perkembangan cerita pula, pembaca akan menjadi semakin kenal dan akrab. Untuk mengenali secara lebih baik tokoh-tokoh cerita, kita perlu mengidentifikasi kedirian tokoh-tokoh itu secara cermat. Usaha pengidentifikasian melalui prinsip-prinsip sebagai berikut:
a.         Prinsip pengulangan
Sifat kedirian tokoh yang diulang-ulang biasanya untuk menekankan dan atau mengintensifkan sifat-sifat tertentu yang menonjol sehingga pembaca dapat memahami dengan jelas. Prinsip pengulangan dipergunakan cukup menonjol dalam Sri Sumarah untuk menggambarkan jati diri tokoh Sri yang selalu pasrah sumarah menerimaa nasib.
b.        Prinsip pengumpulan
Usaha pengidentifikasian tokoh, dapat dilakukan dengan mengumpulkan informasi kedirian yang “berserakan” di seluruh tempat cerita tersebut sehingga akhirnya diperoleh data yang lengkap. Berbagai informasi tentang kedirian yang berserakan itu kemudian digabungkan sehingga dapat saling melengkapi dan menghsilkan gambaran yang padu tentang kedirian tokoh yang bersangkutan.
c.         Prinsip kemiripan dan pertentangan
Identifikasi tokoh yang mempergunakan prinsip kemiripan dan pertentangan dilakukan dengan memperbandingkan antara seorang tokoh dan tokoh lain dari cerita fiksi yang bersangkutan. Berbagai informasi kedirian tokoh yang diperbandingkan dengan tokoh lain dapat disajikan ke dalam bentuk tabel.   























BAB VIII
LATAR
A.      LATAR SEBAGAI UNSUR FIKSI
1.         Hakikat Latar
Latar atau seting sering disebut sebagai landas tumpu, menunjuk pada pengertian tempat, hubungan waktu sejarah, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams, 1999:284). Tahap awal karya fiksi pada umumnya berisi penyituasian pengenalan terhadap berbagai hal yang akan diceritakan. Latar memberikan pijakan ceita secara konkret dan jelas. Hal ini perlu untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca, sehingga tercipta suasana tertentu yang seolah-olah benar-benar ada. Sehingga pembaca merasa difasilitasi dan dipermudah untuk mengembangkan daya imajinasinya, selain utu pembaca juga mendapatkan pengetahuan tentang latar. Pembaca akan mendapatkan informasi baru yang berguna dan menambah pengalaman hidup.
2.         Latar Fisik dan Spiritual
Latar tempat secara jelas menunjuk pada lokasi tertentu, yang dapat dilihat dan dirasakan kehadirannya, disebut sebagai latar fisik. Sedangkan keadaan yang agak berbedaadalah latar yang berhubungan dengan waktu.  Latar fiksi tidak terbatas pada penunjukan lokasi-lokasi tertentu, atau sesuatu yang bersifat fisik saja, melainkan juga yang berwujud tata cara adat istiadat, budaya, dan nilai-nilai yang berlaku di tempat yang bersangkutan, hal-hal diatas sering disebut sebagai latar spiritual. Jadi, latar spiritual adalah nilai- nilai yang melingkupi dan dimiliki oleh latar fisik (Kenny, 1966:39).
3.         Latar Netral dan Fungsional
Latar dalam sebuah karya fiksi barangkali hanya berupa latar yang hanya sebagai latar saja. Karena sebuah cerita membutuhkan landas tumpu pijakan. Sebuah nama tempat hanya sekedar sebagai tempat terjadinya peristiwa yang diceritakan, tidak lebih dari itu, latar yang seperti itulah yang disebut latar netral. Latar fungsional memiliki dan meninjolkan sifat dan ciri khas tertentu, baik yang berupa unsur tempat, waktu, dan sosial budaya. Jadi latar fungsional adalah unsur yang memiliki fungsi yang menonjol dalam kaitannya degan cerita secara keseluruhan. Latar fungsional dalah latar yang mampu memengaruhi atau bahkan mamou menentukan pengembangan plot dan pembentukan karakter tokoh.
4.         Penekanan Unsur Latar
Unsur latar yang ditekankan dalam sebuah novel, langsung ataupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap elemen fiksi yang lain, khususnya alur dan tokoh. Jika elemen tempat mendapatkan penekanan dalam sebuah novel, ia akan dilengkapi dengan sifat khas keadaan geografis setempat yang merincikannya, yang disebut sebagai landmark., yang berbeda dangan tempat-tempat lain Penekanan waktu juga banyak ditemui di berbagai karya jfiksi di indonesia. Elemen waktu biasanya dikaitkan dengan keadaan faktual, peristiwa sejarah juga terbukti dapat dijalin secara integral dan dapat mempengaruhi pengembangan plot dan penokohan. Peristiwa sejarah tertentu yang diangkat dalam karya fiksi memberikan landasan waktu secara konkret, penokohan dan plot tinggal menyesuaikan.
Peran latar fungsional yang menonjol dalam sebuah karya fiksi dapat mencakup semua unsur, namun mungkin juga hanya menyangkut satu-dua unsur saja. Perlu juga ditekankan bahwa kadar penekanan latae, walau sama-sama mendapatkan penekanan, ada perbedaan intensitas.
5.         Latar dan Unsur Fiksi yang Lain
Latar sebuah karya sekedar berupa penyebutan tempat, waktu, dan hubungan sosial tertentu secara umum, artinya bersifat netral pada umumnya dan tidak berperan dalampengembangan cerita secara keseluruhan. Latar dan penokohan mempunyai hubungan erat dan bersifat timbal balik. Sifat-sifat latar terutama latar spiritual, dalam banyak hal, akan memengaruhi sifat-sifat tokoh. Masalah status sosial juga berpengaruh dalam penokohan. Pengangkatan tokoh dari kelas sosial rendah tentu berbeda dengan pengangkatan tokoh sosial kelas atas. Penokohan dan pengaluran memang tidak hanya ditentukan oleh latar, namun peranan latar haruslahdiperhitungkan, karena apabila latar dengan penokohan terjadi ketidakseimbangan cerita menjadi kurang wajar, dan menjadi kurang meyakinkan. Latar dalam kaitannya dengan waktu, akan berpengaruh terhadap cerita dan pemlotan, khususnya waktu yang dikaitkan dengan unsur kesejarahan. Ketika peristiwa sejarah diangkat dalam sebuah novel maka harus tidak bertentangan dengan kenyataan sejarah itu, jika terjadi ketidak sesuaian maka cerita akan menjadi tidak masuk akal yang disebut anakronisme.
B.       UNSUR LATAR
1.         Latar Tempat
Latar tempat menunjukan pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Penggunaan latar tempat dengan nama-nama tertentu haruslah mencerminkansifat dan keadaan geografis tempat yang bersangkutan. Untuk mendiskripsikan  suatu tempat secara meyakinkan seorang penulis harus menguasai medan. Seperti situasi geografis lokasi yang bersangkutan lengkap dengan karakteristik dan sifat khasnya seperti adanya landmark. Tempat menjadi sesuatu yang bersifat khas, tipikal, dan fungsional. Ia akan memengaruhi pengaluran dan penokohan, dan karenanya cerita akan menjadi koheren secara keseluruhan. Pengankatan lokasi secara tipikal dan fungsional, menunjukan bahwa latar digarap secara teliti oleh pengarang. Penyebutan latar tempat yang kurang jelas simungkinkan karena perannya dalam karya kurang dominan. Ketidak jelasan latar tempat juga disebabkan bahwa peristiwa yang diceritakan terjadi di tempat lain yang mempunyai keadaan dan sifat mirip. Keberhasilan latar tempat len=bih ditentikan pada ketepatan diskripsi, fungsi, dan keterpaduan dengan unsur latar yang lain sehingga semuanya bersifat saling mengisi.
2.         Latar Waktu
Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya berhubungan dengan waktu sosial, waktu yang ada kaitannyaatau dapat dkaitkan dengan peristiwa sejarah. Masalah waktu dalam karya naratif, kata Genette (1980:33, 35), dapat bermakna ganda: di satu pihak menunjuk pada waktu penceritaan, waktu penulisan cerita, dan dipihak lain menunjuk pada waktu dan urutan waktu yang terjadi dalam sebuah karya fiksi. Pengangkatan unsur sejarah dalan sebuah karya fiksi  akan menyebabkan waktu yang diceritakan menjadi khas, tipikal, dan dapat menjadi sangat fungsional sehingga tidak dapat diganti dengan waktu yang lain tanpa memengaruhi cerita yang lain.
Lama Waktu Cerita. Masalah waktu dalam cerita fiksi juga sering dihubungkan dengan lamanya waktu yang digunakan dalam cerita. Seperti adanya novel yang membutuhkan waktu yang sangat panjang, dan novel yang membutuhkan waktu yang pendek.
3.         Latar Sosial-Budaya
Latar sosial-budaya menunjuk pada hal-hal yang bersangkutan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat disuatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Bahasa Daerah, Penamaan, dan Status Sosial. Latar sosial memang dapat menggambarkan suasana keadaan, local color, warna setempat daerah tertentu melalui kehidupan sosial-budaya masyarakat. Disamping penggunaan bahasa daerah, masalah penamaan tokoh dalam banyak hal ini juga berhubungan dengan latar sosial-budaya. Status sosial tokoh merupakan salahsatu hal yang dapat perlu diperhitungkan dalam pemilihan latar. Adabeberapa novel yang mengangkat konflik karena kesenjangan status sosial.
4.         Catatan Tentang Anakronisme
Anakronisme menunjuk pada pengertian adanya ketidaksesuaian latar waktu dengan urutan waktu dalam sebuah cerita. Faktor Kesenjangan. Dalam sebuah karya sastra merupanakan tidak selamanya menjadi kelemahan ia hadir dalam sebuah karya sastra karena disengaja bahkan didayagunakan kemanfaatannya sperti mempermuidah pembaca untuk berimajinasi terhadap suatu karya dengan menghadirkan sesuatu yang sudah dikenal pada masanya walaupun itu bersifat anakronitis.
C.      HAL LAIN TENTANG LATAR
1.         Latar Sebagai Metafotik
Penggunaan istilah metaforik menunjuk pada suatu perbandingan yang bersifat keadaan, suasana, ataupun sesuatu yang lain. Secra prinsip metafora merupakan cara memandang sesuatu melalui sesuatu yang lain. Funsi pertama metafora adalah menyampaikan pengertian dan pemahaman (Lakoff & Jhonson, 1980:36).
Novel sebagai sebuah karya kreatif tentu saja kaya bentuk-bentuk ungkapan metafora, khususnya sebagai sarana pendayagunaan unsur stile, sesuai dengan budaya bahasa yang bersangkutan, dalam hal ini latar yang berfungsi sebagai metaforik. Unsur latar dalam karya tertentu mendapatkan penekanan biasanya relatif banyak gambaran detail yang berfungsi metaforik. Atau paling tidak dapat menafsirkan demikian.
2.         Latar Sebagai Atmosfer
latar dalam cerita merupakan “udara yang dihirup oleh pembaca dalam memasuki dunia rekaan “. Ia merupakan deskripsi kondisi latar yang mampu menciptakan suasana tertentu, misalnya suasana romatik, sedu, muram, sedih, dan sebagainya. Latar yang memberikan atmosfer cerita biasanya latar penyesuaian. Tahap awal, pengenalan.
 Latar yang berfungsi sebagai metaforik walau menunjuk pada pengertian dan funsi yang berbeda, pada kenyataannya erat dikaitkan. Dalam diskripsi sebuah atar misalnya, terdapat diskripsi tertentu yang bersifat metaforik. Atmosfer cerita adalah emosi yang dominan yang merasukinya yang berfungsi mendukung elemen-elemen yang lain untuk memperoleh efek yang mempersatukan (Altenberd & Lewis,1966:72)





























BAB IX
SUDUT PANDANG
A.      SUDUT PANDANG SEBAGAI UNSUR FIKSI
1.         HakikatSudut Pandang
Sudut pandang, point of view, view point, merupakan salah satu unsur fiksi yang oleh Stanton digolongkan sebagai sarana cerita, literary device.Sudut haruslah diperhitungkan kehadirannya, bentuknya, sebab pemilih sudut pandang akan berpengaruh terhadap penyajian cerita. Sudut pandang dalam teks fiksi mempersoalkan: siapa yang menceritakan, dariposisimana, peristiwa dan tindakan itu dilihat. Hakikat sudut pandang menunjuk pada cara sebuah cerita dikisahkan. Namun kesemuanya itu dalam cerita fiksi disalurkan lewat sudut pandang tokoh :
a.         Baldic (2001:198), sudut pandang adalah posisi atau sudut mana yang menguntungkan untuk menyampaikan kepada pembaca terhadap peristiwa dan cerita yang diamati dan dikisahkan.
b.        Booth ( Stevick, 1967 : 89 ),susut pandang merupakan teknik yang digunakan pengarang untuk menemukan dan menyampaikan makna karya artistiknya, untuk dapat sampai dan berhubungan dengan pembaca.
2.         Pentingnya Sudut Pandang
Sudut pandang di dalam teks fiksi dianggap sebagai salah satu unsur fiksi yang penting dan menentukan. Semua itu dimulai setelah Henry Jemes yang novelis sekaligus esais Amerika itu menulis esai tentang sudut pandang secara menyakinkan dan esainya diterbitkan denganjudul The Art Of Novel ( 1934 ).
Sudut pandang menjadi penting karena hal itu tidak hanya berhubungan dengan masalah gaya saja walau tidak dapat disangkal bahwa pemilihan bentuk-bentuk dramatika dan retorika juga penting dan berpengaruh. Penggunaan sudut pandang dalam cerita fiksi memang masalah pilihan artinya dengan sudut pandang pilihannya itu ia dapat bercerita dengan baik dan lancar, dan lebih dari itu, semua gagasan dapat tersalurkan.
3.         PenekananSudut Pandang
Penyimpangan sudut pandang tidak hanya menyangkut masalah personal pertama atau ketiga melainkan lebih berupa pemilihan siapa tokoh dia atau aku itu. Artinya pengarang tidak akan melukiskan dan mengemukakan sesuatu yang secara realitas diluar jangkauan tokoh yang bersangkutan.
B.       MACAM SUDUT PANDANG
Friedman ( Stevick, 1967 : 118 ) mengemukakan adanya sejumlah pertanyaan yang jawabnya dapat dipergunakan untuk membedakan sudut pandang. Pertanyaan yang dimaksud: (1) Siapa yang berbicara kepada pembaca? (2) Dari posisi mana cerita itu dikisahkan? (3) Saluran informasi apa yang dipergunakan narator untuk menyampaikan ceritanya kepada pembaca? (4) Sejauh mana narator menempatkan pembaca dari ceritanya?
1.         Sudut Pandang PersonaliaKetiga: “Dia”
“Dia” narator adalah seorang yang berada diluar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita yang menyebut nama atau kata ganti: ia, dia, mereka.
a.         “Dia” Mahatau
Sudut pandang persona ketiga maha tau dalam literatur bahasa inggris di kenal dengan istilah-istilah the omniscient point of view, third-person omniscient, the omniscient narrator, atauauthor omniscient.
b.        “Dia” Terbatas, “Dia” sebagai pengamat
Dalam sudut pandang “dia” terbatas, seperti halnya dalam “dia” maha tau, pengarang melukiskan apa yang dilihat, didengar, di alami, dipikir dan dirasakan oleh tokoh cerita, namun terbatas hanya seorang satu tokoh saja
2.         Sudut Pandang Persona Pertama: “Aku”
First-person point of view, “aku” ,jadi : gaya “aku”, narrator adalah seseorang terlibat ikut dalam cerita.
a.         “aku” Tokoh Utama
Dalam sudut pandang tehnik ini, si “aku” mengisahkan berbagai peristiwa dan tingkah laku yang dialaminya, baik yang bersifat batiniah, dalam diri sendiri, maupun fisik, hubunganya dengan sesuatu yang diluar dirinya.Tehnik “aku” dapat dipergunakan untuk melukiskan serta membeberkan berbgai pengalaman kehidupan manusia yang paling dalam dan rahasia sekali pun.
b.        “aku” tokoh tambahan
Dalam sudut pandang ini tokoh “aku” muncul bukan sebagai tokoh utama, melainkan sebagai tokoh tambahan, first-person peri-pheral.
3.         Sudut Pandang Persona Kedua: “kau”
Dalam berbagai buku teori fiksi jarang ditemukan pembicaraan tentang sudut pandang persona kedua atau gaya. Penggunaan tehnik “kau” biasanya di pakai “mengorang lainkan” diri sendiri, melihat diri sendiri sebagai orang lain.
4.         Sudut Pandang Campuran
Pengarang dapat berganti-ganti dari tehnik yang satu ketehnik yang lain untuk sebuah cerita yang dituliskanya. Pemanfaatan tehnik-tehnik tersebut dalam sebuah novel misalnya, dilakukan dengan mempertimbangkan kelebihan dan keterbatasan masing-masing tehnik.
Campuran “aku” dan “dia”. Penggunakan sudut pandang campuran antara persona pertama dan ketiga, “aku” dan “dia”, secara bergantian dapat kita jumpai dalam bebrapa novel Indonesia. Penggunakan kedua sudut pandang tersebut dalam sebuah novel terjadi karena pengarang ingin memberikan cerita secara lebih banyak kepada pembaca.



BAB X
BAHASA
A.      BAHASA SEBAGAI UNSUR FIKSI
Teks fiksiatau secara umum teks kasastraan, di samping sering disebut sebagai dunia dalam kemungkinan, juga dikatakan sebagai dunia dalam kata. Hal disebabkan “dunia” yang diciptakan, dibangun, ditawarkan, diabstraksikan, dan sekaligus ditafsirkan lewat kata-kata, lewat bahasa. Struktur fiksi dan segala sesuatu yang dikomunikasikan senantiasa dikontrol langsung oleh manipulasi bahasa pengarang (Fowler, 1977:3).
1.         Bahasa Sastra: Sebuah Fenomena
Beberapa karakteristik bahasa sastra yang dikemukakan beberapa orang berikut akan sedikit disinggung. Bahasa sastra munkin dicirikan sebagai bahasa  (yang menggandung unsur) emotif  dan bersifat konotatif sebagai kebalikan bahasa nonsastra, khususnya bahasa ilmiah, yang rasional dan denotatif. Namun, untuk pencirian itu tampaknya masih memerlukan penjelasan (Wellek dan Warren, 1999:15). Kaum Formalitas Rusia beranggapan bahwa bahasa sastra adalah bahasa yang mempunyai ciri deotomatisasi, penyimpangan dari cara-cara penuturan yang bersifat otomatif, rutin, biasa, dan wajar. Sastra mengutamakan keaslian pengucapan, dan untuk memperoleh cara itu mungkin sampai pada penggunaan berbagai bentuk penyimpangan, deviasi (deviation) kebahasaan. Kaum Formalitas Rusia berpendapat bahwa aanya penyimpangan dari sesuatu yang wajar merupakan proses sastra yang mendasar (Teew, 1988:131). Penggunaan bahasa konotatif  merupakan salah satu bentuk merupakan karakteristik khas bahasa sastra sebab dalam oenuturan nonsastra pun banyak dipergunakan.
Bahasa adalah sebuah sistem tanda yang bersangkutan akan berakibat tidak dapat dipahaminya karya yang bersangkutan akan berakibat tidak dapat dipahaminya karya yang bersangkutan, terhadap sesuatu yang akan dikomunikasikan. Fungsi komunikatif bahasa hanya akan efektif jika sebah penuturan masih tunduk dan “memanfaatkan” knvensi bahasa itu betapapun kadarnya. Makna dalam sastra pada umumnya memang bkan makna pertama seperti yang dikonvensikan bahasa, melainkan lebih bersifat second-order semiotic system  (culler, 1977:14), lebih menyarankan pada sistem makna tingkat kedua. Pembedaan itu lebih ditentukan oleh konvensi (konvensi kesastraan), konteks, dan bahkan harapan pembaca. Hal itu berarti sebenarnya hal-hal tersebutlah yang mencirikan apakah sebuah ( penuturan ) bahasa dapat digolongkan ke dalam sastra atau bukan. Pratt (Teeuw, 1988:82-83) menemukakan bahwa masalah kelitereran (literariness) tidak ditentukan oleh ciri khas pemakaian bahasa, melainkan oleh ciri khas situasi pemakaian bahasa tersebut.
2.         Stile dan stillistika
a.         Stile dan hakikat stile
Stile pada hakikatnya merupakan teknik, yaitu teknik pemilihan ungkapan kebahasaan yang dapat mewakili sesuatu yang akan diungkapkan dan sekaligus untuk mencapai efek keindahan.  Kata kunci untuk istilah stile adalah pilihan. Sebuah stile adalah sebuah pilihan bentuk berbagai aspek kebahasaan. Artinya harus ada bentuk-bentuk yang dipilih, dan dari sekian bentuk yang ada, pilihan yang terpilih adalah bentuk yang terbaik. Terbaik dalam arti bentuk yang terpilih itu dapat mencapai dua tujuan sekaligus: tepat secara bentuk dan karena memenuhi tuntutan kendahan, dan tepat secara makna dalam arti bentuk itu mampu mewakili gagasan yang ingin dikomunikasikan.
b.        Stalistika dan hakikat stilistika
Tujuan analisis stilistika kesastraan, misalnya dapat dilakukan dengan (mengajukan dan ) menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: “mengapa pengarang dalam mengekspresikan dirinya justru memilih cara khusus””?,”bagaimanakah efek estetis yang demikian dapat dicapai melalui bahasa?. Kajian stilitika juga dimaksudkan untuk menunjukkan hubungan apresiasi estetik (perhatian kritikus) di satu pihak dengan deskrepsi linguistik (perhatian linguis) di pihak lain. Pernyataan adalah, stilitika itu bagian dari seni atau linguistik? Ketika kajian dimaksugkan untu menemukan dan atau menjelaskan fungsi estetika bentuk-bentuk linguistik, kerja itu merupakan bagian dari seni.
3.         Stile dan Nada
Nada (tone), nada pengarang (authorial tone), dalam pengertian yang luas, dapat dartikan sebagai pendirian atau sikap yang diambil pengarang (tersirat, implied authar) terhadap pembaca dan terhadap (sebagian) masalah yang dikemukakan (Leech dan Short, 2007:225). Sebelumnya, Kenny (1966:69) juga telah mengemukakan bahwa nada merupakan eksprei sikap, sikap pengarang terhadap masalah yang dikemukakan dan terhadap pembaca. Nada memang ada hubungannya dengan intonasi, lagu dan tekanan kalimat, walau dalam bahasa tulis sekalipun.
B.       UNSUR STILE
Kajian stile sebuah fiksi biasanya dilakuan dengan menganalisis unsur-unsurnya, khususnya untuk mengetahui kontribusi masing-masing unsur untuk mencapai efek estetis da unsur apa saja yang dominan. Abrams (1999:303) mengemukakan bahwa unsur stile (yang disebut dengan istilah stylistics features) terdiri dari unsur fonologi, sintaksis,leksikal, retirika (rhetorical, yang berupa karakteristik penggunaan bahasa figuratif, citraan, dan sebagainya). Pembicaraan unsur stile berikut dilakukan dengan menggabungkan antara pembagian unsur menurut Abrams (1999), Leech dan Short (207) tersebut, namun unsur fonologis (dari Abrams) sengaja tidak dibicarakan karena unsur itu kurang begitu penting kontribusinya dalam stilistika fiksi (lebih penting untuk stilistika puisi).
1.         Unsur leksikal
Unsur leksikal yang dimaksud sama pengertian dengan diksi, yaitu yang mengacu pada pengertian penggunaan kata-kata tertentu yang sengaja dipilih oleh pengarang untuk mencapai tujuan tertentu. Pilihan kata juga berhubungan dengan masalah sintagmatik dan paradigmatik. Hubungan sintagmatik berkaitan dengan hubungan antar kata secara liniar untuk membentuk sebuah kalimat. Bentuk-bentuk kalimat yang diinginkan dan disusun, misalnya sederhana, lazim, unik, atau lain dari yang lain, dalam banyak hal akan memengaruhi kata, khususnya bentuk kata. Hubungan paragdigmatikberkaitan dengan pilihan kata di antara sejumlah kata yang berhubungan secara makna.
2.         Unsur Gramatikal
Unsur gramatikal yang dimaksud menunjuk pada pengertian struktur kallmat. Dalam kegiatan komunikasi berbahasa, juga jika dilihat dari kepentingan stile, kalimat lebi penting dan bermakna daripada sekedar kata walau pendayaan kalimat dalam banyak hal juga dipengaruhi oelh ilihan katanya. Untuk menjadi sebuah kalimat yang bermakna, hubungan sintaksis kata-kata tersebut harus gramatikal, sesuai dengan sistem kaidah yang berlaku dalam bahasa yang bersangkutan. Ada tidaknya penyipangan struktur kalimat merupakan salah satu unsur yang dapat dikaji jika kita bermaksud menganalisis unsur gramatikal. Selain dicacah untuk dihitung frekuensi pemunculan dan presentase, wujud penyimpangan harus pula dicatat. Selain berdasarkan bentuk-bentuk penyimpangan di atas, kegiatan analisis kalimat juga dapat di lakukan terhadap hal-hal atau dengan cara-cara berikut :
a.         Kompleksitas kalimat
b.        Jenis kalimat
c.         Jenis klausa dan frase
3.         Retorika
Adanya unsur kekhasan, ketepatan, dan kebaruan pemilihan bentuk-bentuk pengungkapan yang kesemuanya itu sangat ditentukan oleh kemampuan imajinasi dan kreativitas pengarang  dalam menyiasati gagasan dan bahasa akan menentukan keefektifan wacana yang dihasilkan. Unsur stile yang berjudul sarana retorika itu, sebagaimana dikemukakan Abrams (1999) di atas, melipiuti penggunaan bahasa figuratif (figuratif  language) dan citraan (imagery).
Pebedaaan bahasa figuratif tersebut terlihat sejalan dengan pembagian keraf (1981:106-128) yang membedakan gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna. Yang prtama dibedakan ke dalam dua golongan, yaitu struktur kalimat dan gaya bahasa, masing-masing dengan macamnya, sedang yang kedua dibedakan ke dalam gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan, masing-masing juga dengan macamnya.
a.         Pemajasan
Pemajasan merupakan teknik pwngungkapan bahasa, penggayabahasaan, yang maknanya tidak menuju pada makna harfiah kata-kata yang mendukungnya, melainkan pada makna yang ditambahkan atau makna yang tersirat.  Gorys Keraf (1981) membedakan gaya bahasa berdasarkan kangsung tidaknya makna kedalam dua kelompok, yaitu gaya bahasa retoris dan kiasan. Gaya restoris adalah gaya bahasa yang maknanya harus diartikan menurut nilai lahirnya. Gaya yang dipergunakan adalah bahasa yang mengandung unsur kelangsungan mana. Sebaliknya, gaya bahasa kiasan adalaah gaya bahasa yang maknanya tidak dapat ditafsirkan sesuai sesuai dengan makna kata-kata yang membentuk. Majas memiliki bermacam jenis yang jumlahnya relatif banyak seperti : majas Perbandingan, simile, Metafora, Personifikasi, Majas Pengontrasan, Majas Hiperbola, Majas Litotes, Majas Pertanian, Majas Sinekdoke.
b.        Penyiasatan Struktur
Repetisi merupakan bentuk penyiasatan struktur dengan pengulangan kata-kata atau frase tertentu dengan maksud untuk menekankan sesuatu yang dituturkan. Bentuk ini banyak ditemukan dalam berbagai teks fiksi dan mudah dikenali. Bentuk-bentuk yang lain menjadi penyesiasatan struktural misalnya antitesis, alirasi, klimaks, antiklimaks, dan pernyataan retoris.
c.         Citraan
Dalam dunia kesastraan dikenal adanya stilah citra (image) dan citraan (imagery) yang keduanya menunjuk pada adanya reproduksi mental. Citra merupakan sebuah gambaran berbagai pengalaman sensoris yang dibangkitkan oleh kata-kata.  Macam citraan itu sendiri meliputi kelima jenis indra manusia, yaitu citraan penglihatan (visual), pendengaran (auditoris), gerak (kinestetik), rubaan (taktil termal), dan penciuman (olfaktori), namun pemanfaatannya dalam sebuah kayra tidak sama indentitasnya. Citraan merupakan suatu gaya penuturan yang banyak dimanfaatkan dalam penulisan sastra. Ia dapat dipergunakan untuk mengonkretkan pengungkapan gagasan-gagsan yang sebenarnya abstrak melalui kata-kata dan ungkapkan yang mudah membangkitkan tanggapan imajinatif. Analisis citraan terhadap sebuah karya fiksi dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mirip dengan pertanyan-pertanyan yang diajukan pada gaya pemajasan.
d.        Kohesi
Bagian-bagian dalam sebuah kalimat, atau antar kalimat dalam dalam sebuah alinea, yang masing-masing mengandung gagasan, tidak mungkn disusun secara acak. Antarunsur tersebut secara alami dihubungkan oleh unsur makna, unsur semantik. Untuk mengungkapkan sebuah gagasan yang utuh, tip bagian kalimat atau tiap alinea yang dimaksud untuk mendukung gagasan itu, haruslah dihubungkan satu dengan yang lain, baik secara eksplisit, implisit, maupun keduany secara bersamaan atau bergantian. Hubungan antarunsur sebuah teks pada hakikatnya merupakan hubungan makna dan referensi, namun biasanya orang lebih melihatnya dari segi sarana formal sebagai penanda hubungannnya. Penanda kohesi yang berupa sambungan dalam bahasa indonesia ada banyak sekali dan berbeda-beda fungsinya. Penanda itu mungkin berfungsi menghubungkan bagian dalam kalimat, antar kalimat dalam alinea, atau bahkan antarlinea.
C.      PERCAKAPAN DALAM NOVEL
1.         Narasi dan Dialog
Pengungkapan bahasa dengan gaya narasi dalam hal ini yang saya maksudkan adalah semua yang bukan bentuk percakapan sering dapat menyampaikan sesuatu secara lebih singkat dan langsung. Dialog yang baik dalam sebuah cerita novel sebenarnya tidak sekadar berkaitan dengan variasi penuturan narasi-dialog saja. Hal itu memang penting. Namun, dialog-dialog yang dihadirkan akan menjadi lebih penting dn berdaya jika sekaligus difungsikan sebagai pendukung pengembangan plot dan karakter tokoh. Sebagai pendukung plot jika dialog yang dihadirkan itu sekaligus menunjkkan kelanjutan cerita walau hanya secara implisit.
2.         Unsur Pragmatik dalam Percakapan
Pecakapan yang hidup dan wajar, walau hal itu terdapat dalam sebuah novel, adalah percakapan yang sesuai dengan konteks pemakainnya, percakapan yang mirip dengan situasi nyatapenggunaan bahasa. Bentuk percakapan yang demiian bersifat pragmatik. Untuk meahami sebuah percakapan yang memiliki konteks tertentu, kita dapat hanya mengandalkan pengetahuan tentang leksika dan sintaksis saja, melainkan harus pula disertai dengan interpretasi pragmatik. Novel dapat menghadirkan konteks situasi yang bermacam=macam: resmi, formal, serius, santai, akrab, atau yang lain. Percakapan yang menyertai situasi-situasi tersebut haruslah menyesuaikan.
3.         Tindak Ujar
Salah satu hal yang penting dlam interpretasi percakapan secara pragmatik, konsep yang menghubungkan antara makna pecakapan dan konteks, adalh konsep tindak ujar, sebuah konsep yang dikembangkan oleh Austin (1962) dan Searle (1969). Konsep tersebut berangkat dari adanya kenyataan bahwa ketika seseorang mengucapkan kalimat-kalimat dalam sebuah dialog yang dilakukan umunya disertai oleh adanya perform acts yang berbeda-beda. Austin membedakan penampilan tindak ujar ke dalam tiga macam tindak, yaitu lokusi, ilokusi, perlokusi. Tindak lokusi adalah suatu bentuk ujaran yang mengandung makna adanya hubungan antar subjek dan predikat, pokok dan sebutan, atau antara topik dan penjelasan. Misalnya “aku akan memainkan buny gendang “. Tindak ujar ilokusi merupakan bentuk-bentuk ujaran yang dibedakan berdasarkan intonasi kalimat. Dalam konteks ketatabahasaan, kita kenal adanya intonasi kalimat berota atau pernyataan, tanya, perintah, permononan, atau intonasi kalimat lain. Tindak bahasa perlokusi melihat pada adanya suatu bentuk pengucapan yang menunjuk pada makna yang lebih dalam yng tersembunyi di balik ucapan itu sendiri. Makna itu sendiri tidak langsung diucapkan lewat percakapan, namun dapat ditafsirkan lewat konteks percakapan yang bersangkutan. Tindak perlokusi menunjuk pada penafsiran  makna yang tersirat dari pada yang tersurat, makna yang dimaksud oleh pengarang sekaligus memiliki kesamaan konsep dengan imlikatur ke atas.














BAB XI
MORAL
A.      UNSUR MORAL DALAM FIKSI
1.         Hakikat Moral
Secara umum moral menunjuk pada pengertian (ajaran tentang) baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; akhlak, budi pekerti, susila. Istilah “bermoral”, misalnya tokoh bermoral tinggi, berarti mempunyai pertimbangan baik dan buruk yang terjaga dengan penuh kesadaran. Adakalanya moral diidentikkan pengertiannya dengan tema walau sebenarnya tidak selalu menyaran pada maksud yang sama. Keduanya merupakan sesuatu yang dapat dipandang sebagai memiliki kemiripan.
Kenny (1966:89) mengemukakan bahwa moral dalam karya sastra biasanya dimaksudkan sebagai suatu saran yang berhubungan dengan ajaran moral tertentu yang bersifat praktis, yang dapat diambil (dan ditafsirkan), lewat cerita yang bersangkutan oleh pembaca. Ia merupakan “petunjuk” yang sengaja diberikan oleh pengarang tentang berbagai hal yang berhubungan dengan masalah kehidupan, seperti sikap, tingkah laku, dan sopan santun pergaulan. Ia bersifat praktis sebab “petunjuk” nyata, sebagaimana model yang ditampilkan dalam cerita itu lewat sikap dan tingkah laku tokoh-tokohnya.
Jadi, pada intinya moral merupakan representasi ideologi pengarang. Cerita fiksi menawarkan pesan moral yang berhubungan dengan sifat-sifat luhur kemanusiaan, memperjuangkan hak dan martabat manusia. Sifat-sifat kemanusiaan tersebut pada hakikatnya bersifat universal. Sebuah cerita fiksi yang menawarkan pesan moral, biasanya akan diterima kebenarannya secara universal pula dan memungkinkan untuk menjadi sebuah karya yang bersifat sublim. Pesan moral sastra lebih memfokuskan pada sifat kodrati manusia yang hakiki bukan pada aturan-aturan yang dibuat, ditentukan, dan bertentangan dengan ajaran agama (Mangunwijaya, 1982) seperti yang terlihat pada penyelesaian pasangan Masri-ani tetap bahagia sebagai suami istri walau keduanya kakak beradik lain ibu  pada cerpen “Datangnya dan Perginya” (Nasyah Jamin). Namun, pesan moral sastra tidak harus sejalan dengan hukuman agama sebab sastra memang bukan agama, walau tidak dapat disangkal terdapat banyak sekali fiksi yang menawarkan pesan moral keagamaan atau religius.

2.         Sastra dan Pembentukan Karakter
Berbagai teks kesastraan diyakini mengandung unsur moral dan nilai-nilai yang dapat dijadikan “bahan baku” pendidikan dan pembentukan karakter. Teks-teks kesastraan diyakini mengandung suatu “ajaran” karena tidak mungkin seorang pengarang menulis tanpa pesan moral (messages). Pernyataaan Horatius bahwa sastra bersifat sweet anduseful di atas pada hakikatnya menunjukkan bahwa sastra berfungsi pragmatis bagi kehidupan sosial masyarakat. Karya sastra dapat tampil dengan menawarkan alternatif model kehidupan yang diidealkan yang mencangkup berbagai aspek kehidupan seperti cara berpikir, bersikap, berasa, bertindak, cara memandang dan memperlakukan sesuatu, berperilaku, dan lain-lain. Sastra dipersepsi sebagai suatu fakta sosial yang menyimpan pesan yang mampu menggerakkan emosi pembaca untuk bersikap atau berbuat sesuatu.
Karakter adalah jatidiri, kepribadian, dan watak yang melekat pada diri seseorang yang berkaitan dengan dimensi psikis dan fisik. Dalam karakter terdapat tiga komponen, yaitu pengetahuan tentang moral (moral knowing), perasaan tentang moral (moral feeling), dan perbuatan moral (moral action). Ketiga komponen tersebut saling berkaitan satu dengan yang lain untuk membentuk sebuah kesatuan yang padu yang berwujud seseorang yang memiliki karakter yang baik.
3.        Jenis dan Wujud Pesan Moral
Mencangkupseluruh persoalan hidup dan kehidupan manusia itu dapat dibedakan ke dalam persoalan hubungan manusia dengan diri sendiri, hubungan manusia denganmanusia lain dalam lingkup sosial dan lingkungan alam, dan hubungan manusia dengan Tuhannya. Sebuah novel tentu saja dapat mengandung dan menawarkan pesan moral itu salah satu, dua, atau ketiganya sekaligus, masing-masing dengan wujud detail khususnya. Artinya, bahkan dalam satu hubungan pun dapat ditemukan adanya pesan tertentu yang lebih diutamakan daripada yang lain. Tidak berbeda halnya dengan adanya beberapa tema dalam sebuah novel yang terdiri atas tema utama (mayor) dan tema-tama tambahan (minor), pesan moral pun dapat digolongkan ke dalam pesan utama dan yang pesan sampingan. Pesan-pesan sampingan secara bersama mendukung dan menguatkan eksistensi pesan utama.
B.       PESAN RELIGIUS DAN KRITIK SOSIAL
1.         Pesan Religius dan Keagamaan
Kehadiran unsur religius dan keagamaan dalam sastra adalah suatu keberadaan sastra itu sendiri. Bahkan, sastra tumbuh dari sesuatu yang bersifat religius. Pada awal mula segala sastra adalah religius (Mangunwijaya, 1982:11). Istilah “religius” membawa konotasi pada makna agama. Religius dan agama memang erat berkaitan, berdampingan bahkan dapat melebur dala kesatuan, namun sebenarnya keduanya menunjuk pada makna yang berbeda. Agama lebih menunjuk pada kelembagaan kebaktia kepada Tuhan debgan hukum-hukum yang resmi. Religiositas, di pihak lain, melihat aspek yang di lubuk hati, riak getaran nurani pribadi, totalitas kedalaman pribadi manusia.
Agama sebagai Keyakinan penuh Tokoh. Novel Di Nawa Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wicjk (Hamka) tampaknya merupak dua cerita fiksi Indonesia modern mula yang mulai memasukkan unsur agama (Islam) dalam sastra. Namun agama di ssana adalah agama sebagai keyakinan penuh para tokoh cerita, bukan (syariat) agama yang dipermasalahkan. Dengan kata lain unsur agama itu sendiri tidak begitu berpengaruh pada konflik cerita. Konflik ceritanya sendiri masih berkisar pada adanya ketidakbebasan memilih jodoh, ada pihak yang memaksakan kehendak kepada pihak lain yang menyebabkan pihak itu menderita. Para penganut Islam pun ternyata masih terkecoh atau lebih melihat sesuat yang bersifat lahiriah.
2.         Pesan Kritik Sosial
Wujud kehidupan sosial yang dikritik dapat bermacam-macam seluas lingkup kehidupan sosial itu sendiri. Banyak karya sastra tinggi yang di dalamnya mengandung unsur pesan kritik sosial. Wujud-wujud kritik sosia novel-novel angkatan Balai Pustaka misalnya, lebih banyak berkaitan dengan adat-istiadatdan dominasi golongan tua yang “tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan”. Itu terutama terlihat dalam hal mengatur dan menentukan jodoh untuk anak-anak muda. Masalah itu memang aktual pada waktu  itu, namun tidak lagi untuk masa sekarang. Ada berbagai aspek kehidupan sosial yang lebih menarik, aktual, dan relevan untuk diceritakan dan diamanatkan sesuai dengan derap kehidupan modern, dan bukan sekedar masalah jodoh saja. Namun demikian, sebenarnya terdapat berbagai aspek kehidupan sosial yang hakiki, dan itu bersifat langgeng dan universal, tidak hanya berlaku dan tidak terikat oleh batas waktu dan tempat.
C.      BENTUK PENYAMPAIAN PESAN MORAL
Dari sisi tertentu cerita fiksi dapat dipandang sebagai bentuk manifestasi keinginan pengarang untuk mendialog, menawar, dan menyampaikan sesuatu. Sesuatu itu mungkin berupa pandangan tentang suatu hal, gagasan, moral, atau amanat. Karya sastra pun dapat dipandang sebagai sarana komunikasi.
1.         Bentuk Penyampaian Pesan Langsung
Bentuk penyampaian pesan moral yang langsung, boleh dikatakan identik dengan cara pelukisan watak tokoh yang bersifat uraian, telling, atau penjelasan, expository. Jika dalam uraian pengarang secara langsung mendesjripsikan perwatakan tokoh cerita yang bersifat “memberi tau” pembaca untuk memahaminya, hal yang demikian juga terjadi dalam penyampaian pesan moral. Artinya, moral yang ingin disampaikan atau diajarkan kepada pembaca itu dilakukan secara langsung dan eksplisit.pengarang dalam hal ini tampak menggurui  pembaca, secara langsung memberikan nasihat dan petuahnya.
2.         Bentuk Penyampaian Pesan tidak Langsung
Jika dibandingka dengan bentuk sebelumnya, bentuk penyampaian pesan moral di sini tidak langsung. Pesan tu hanya tersirat dalam cerita, berpadu secara koherensif dengan unsur-unsur cerita yang lain. Walau betul pengarang ingin menawarkan dan menyampaikan sesuatu, ia tidak melakukannya secara serta-merta dan vulgar karena ia sadar telah memilih jalur cerita. Salah satu sifat khas karya sastra adalah berusaha mengungkapkan sesuatu secara tidak langsung sebagaimana dikemukakan Riffaterre (1980) bahwa sastra (puisi) mengemukakan A dengan cara B.
Kajian aspek moral dalam sastra, fiksi pada khususnya, banyak dilakukan untuk keperluan pembelajaran sastra di sekolah, yaitu dalam rangka pemilihan bahan ajar yang sesuai. Secara faktual jumlah karya sastra dalam berbagai genre amat banyak, namun belum tentu semuanya sesuai dengan kebutuhan peserta didik, khususnya yang terkait dengan muatan makna. Muatan makna yang baik untuk dibelajarkan adalah yang megandung unsur moral yang sesuai dengan perkembangan kognitif peserta didik atau yang menjadi fokus yang kini menjadi perhatian penuh berbagai pihak, tidak sekadar lagi sebagai wacana, untuk dilaksanakan di sekolah lewat berbagai mata pelajaran. Karya sastra dipandang sebagai salah satu sarana yang strategis untuk mencapai tujuan tersebut karena sastra mengandung dan menawarkan model-model kehidupan yang diidealkan serta sekaligus merupakan budaya dalam tindak yang semuanya disampaikan dengan cara-cara yang menyenangkan.




No comments:

Post a Comment