TEORI PENGKAJIAN FIKSI BURHAN NURGIANTORO
BAB I
FIKSI: SEBUAH
TEKS PROSA NARATIF
A.
HAKIKAT FIKSI
Dunia kesastraan mengenal prosa (Inggris:prose) sebagai
salah satu genre sastra di samping genre-genre yang lain. Untuk mempertegas
keberadaan genre prosa, ia sering dipertentangkan dengan genre yang lain,
misalnya dengan puisi, walau pertentangan itu sendiri hanya bersifat teoretis.
Atau paling tidak, orang berusaha mencari perbedaan antara kebudayaan. Namun,
perbedaan yang “ditemukan” tidak mutlak karena ada hal-hal tertentu yang
mencarikan perbedaan-perbedaan itu. Istilah prosa sebenarnya dapat menyeran
pada pengertian yang lebih luas. Ia dapat mencakup berbagai karya tulis yang
ditulis dalam bentuk prosa, bukan dalam bentuk puisi drama, tiap baris dimulai
dari margin kiri penuh sampai ke margin kanan. Prosa dalam pengertian ini tidak
hanya terbatas pada tulisan yang digolongkan sebagai karya sastra, melainkan
juga berbagai karya nonfiksi termasuk penulisan berita dalam surat kabar.
B.
PEMBEDAAN FIKSI
Sebagai mana dikemukakan sebelumnya, fiksi dapat diartikan sebagai
cerita rekaan Akan tetapi, pada
kenyataannya tidak semua karya yang mengandung unsur rekaan disebut sebagai
karya fiksi. Dewasa ini tampaknya penyebutan karya untuk karya fiksi lebih
ditunjukan terhadap karya yang berbentuk prosa naratif atau teks naratif.
1.
Novel dan
Cerita Pendek
Novel dan cerita pandak merupakan dua bentuk karya sastra yang
sekaligus disebut fiksi. Bahkan, dalam perkembangannya yang kemudian, novel
dianggap bersinonim dengan fiksi. Dengan demukian, pengertian fiksi seperti dikemukakan
di atas, juga berlaku untuk novel.
2.
Roman dan Novel
Akhirnya perlu juga dikemukakan bahwa dalam kesastraan Indonesia
dikenal juga istilah roman. Istilah ini juga banyak dijumpai dalam berbagai
kesastraan di Eropa. Dalam sastra (bahasa) Jerman misalnya, ada istiah ‘bidungsroman’
dan erziehungsroman yang masing-masing bearti.
3.
Novel Serius,
Novel Popular, dan Novel
Dalam dunia kesastraan sering ada usaha untuk mencoba bedakan
antara novel serius dan novel popular. Dibandingkan dengan pembedaan novel
dengan cerpen, atau novel dengan roman di atas, usaha itu sungguh lebih tidak
mudah dilakukannya, dan lebih dari itu, bersifat riskan. Pada kenyataannya
sungguh tidak mudah untuk menggolongkan sebuah novel ke dalam ketegori seris
atau popular. Dalam pembedaan itu, di samping dipengaruhi kesan subjektif,
kesan dari luar juga menentukan. Misalnya, karena sebuah novel diterbitkan oleh
penerbit yang telah dikenal sebagai sebagai penerbit buku-buku kesastraan,
belum membaca ininya pun, mungkin sekali, orang telah menilai sastra yang
tinggi. Untuk kasus di Indonesia misalnya oleh penerbit Pustaka Jaya.
C.
UNSUR FIKSI
Sebuah karya fiksi yang jadi merupakan sebuah bangun cerita yang
menampilkan sebuah dunia yang sengaja dikreasikan pengarang. Wujud formal fiksi
itu sendiri “hanya” berupa kata, dan kata-kata. Kata merupakan sarana
terwujudnya bangunan cerita. Kata merupakan sarana pengucapan sastra. Sebuah
novel merupakan sebuah totalitas, suatu kemenyeluruhan yang bersifat artistik.
Sebagai sebuah totalitas, novel mempunyai bagian-bagiab, unsure-unsur, yang
saling berkaitan satu dengan yang lain secara erat dan saling menggantungkan.
Jika novel dikatakansebagai sebuah totalitas itu, unsure kata dan bahasa
merupakan salah satu bagian totalitas itu, salah satu unsur pembangun cerita
itu, salah satu subsistem organism itu. Kata inilah yang menyebabkan novel,
juga sastra pada umumnya, menjadi berwujud.
1.
Intrinsik dan
Ekstrinsik
Unsur-unsur pembangun sebuah novel—yang kemudian secara bersama
membentuk sebuah totalitas itu—di samping unsure formal bahasa, masih banyak
lagi macamnya. Namun, secara garis besar berbagai macam unsure tersebut secara
tredisional dapat dikelompokkan menjadi dua bagian walau pembagian itu tidak
benar-benar pilah. Pembagian unsure yang dimaksud adalah unsure intrinsic
dan ekstrinsik.
2.
Fakta, Tema,
Sarana Cerita
Stanton (1965:11-36) membedakan unsure pembangun sebuah novel ke
dalam tiga bagian: fakta, tema dan sarana pengucapan (sastra). Fakta (facts)
dalam sebuah cerita meliputi karakter (tokoh cerita), plot, latar. Ketiganya
merupakan unsure fiksi yang secara factual dapat dibayangkan peristiwanya,
eksistensinya, dalam sebuah novel. Ketiganya dapat pula disebut sebagai
struktur factual dan tingkatan factual sebuah cerita. Ketiga unsur tersebut
harus dipandang satu kesatuan dalam rangkaian keseluruhan cerita, bukan sebagai
sesuatu yang berdiri sendiri dan terpisah satu dengan yang lain. Tema adalah
sesuatu yang menjadi dasar cerita.
3.
Cerita dan
Wancana
Selain pembedaan unsur fiksi seperti di atas, menurut pandangan
strukturalisme, unsure fiksi dapat dibedakan ke dalam unsure cerita dan wacana.
Pembedaan tersebut ada kemiripannya dengan pembedakan tradisional yang berupa
unsure bentuk dan isi di atas. Pembedaan teks naratif ke dalam dua golongan itu
juga dilakukan oleh kaum Formalism Rusia, yaitu yang mendekatkannya ke dalam
unsur fibula dan sujet. Berdasarkan pandangan bahwa teks naratif
merupakan sebuah fakta semiotik, semiotic adalah ilmu tentang tanda. Bahwa
secara garis besar teks neratif dibedakan ke dalam unsure cerita dari wacana,
hal itu mirip dengan pembedaan unsur bentuk dan isi di atas. Adanya berbagai
pandangan tentang unsur-unsur fiksi seperti dikemukakan, bagaimanapun, lebih
mempertegas bahwa teks naratif itu merupakan sebuah struktur yang kompleks.
BAB II
MEMBACA TEKS FIKSI
A.
TENTANG MEMBACA
Aktivitas membaca adalah sebuah kinerja yang misti dilakukan.
Dewasa ini ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi tampaknya lebih banyak
disampaikan lewat media tulisan. Bahkan, sesuatu yang yang terkategori sebagai
hiburan pun banyak yang diekspresikan lewat tulisan. Maka,syarat untuk
memperoleh untuk memahami, dan menikmati itu semua mesti kita rajin membaca.
Mendapat pengetahan lewat kegiatan belajar di sekolah dengan guru atau dosen
sebagai “instuktur” pembelajaran dapat disebut sebagai belajar lewat instruksi.
Sebagian besar pengetahuan dan pemahaman kita justru mesti diperoleh lewat
penemuan sendiri bacaan. Ketika membaca,
otak dan pikiran pasti aktif. Dari bermodalkan daya pikir sendiri, kita
menggarap dan memahami segala sesuatu yang di kandung buku bacaan dengan cara
tertentu sehingga dari tidak menggerti menjadi mengerti, dari tidak paham
menjadi paham. Namun, tidak sembarang bacaan yang dapat meningkatkan
pengetahuan, pemahaman, dan pengalaman.
B.
MEMBACA TEKS FIKSI
Sesuai dengan namanya, teks cerita fiksi menampilkan sebuah cerita.
Cerita yang menggambarkan suatu kehidupan yang sengaja dikreasikan dengan
mengandalkan kekuatan imajinasi. Itulah sebabnya drita fiksi disebut sebagai
karya kreatif dan oleh Adler & Doren (2012) disebut sebagai literature
imajinatif. Membaca cerita fiksi sebaiknya dilakukan secara cepat, bahkan
idealya dapat diselesaikan pada satu waktu. Untuk membaca sebuah novel yang
panjang, hal itu jelas tidak mungkin. Namun, ia dapat direduksi dan didapatkan.
1.
Aturan Membaca
Teks Fiksi
Teks fiksi tidak sama dengan teks nonfiksi, maka membaca kedua
jenis tersebut memerlukan penyikapan yang tidak sama. Teks nonfiksi jelas
mengandalkan keakuratan fakta pengetahuan, sedang teks fiksi fakta imajinatif. Pertama,
jika seseorang membaca teks cerita fiksi, sebaiknya menghindari hal
negative yang paling penting: jangan berusaha menolak efek yang ditimbulkan
oleh teks literature imajinatif dalam diri Anda. Artinya, kita harus
menerima apa adanya efek yang muncul dalam diri ketika atau setelah membaca
teks cerita fiksi.
Kedua, negasi ini
merpakan kelanjutan keadaan di atas, yaitu : jangan mencari istilah,
proposisi, dan argument dalam literatr imjinatif. Hal itu disebabkan,
menurutnya, semuaitu merupakan perangkat logika, padahal dalam teks fiksi
pernyataan menjadi salah satu medium pengaburan.
Ketiga, aturan negasi
berikutnya dan terakhirnya, yaitu: jangan mengritik dengan kebenaran dan
konsistensi yang berlaku dalam komunikasi ilmiah. Sebagaimana
dikemukakan sebelumnya, kebenaran cerita teks fiksi tidak sama dengan kebenaran
faktual atau teks-teks ilmiah nonfiksi.
2.
Pembacaan
Heuristik dan Hermeneutik
Dikenal adanya istilah heuristik dan hermeneutik.
Kedua istilah itu, yang secara lengkap disebut sebagai pembaca heuristik dan
pembacaan hermeneutik, biasanya dikaitan dengan pendekatan semiotic.
Hubungan antara heuristik dan hemeneutik dapat dipandang sebagai hubungan yang
bersifat gradisi sebab kegiatan pembacaan dan atau kerja hermeneutik. Kerja
hermeneutic merupakan pembacaan karya sastra pada system semiotic
tingkat pertama. Ia berupa pemahaman makna sebagaimana yang dikonvensikan oleh
bahasa. Orang sering menyebtnya sebagai makna yang ditunjuk oleh kamus. Bekal
yang dibutuhkan adalah pengetahuan tentang system bahasa itu, kompetensi
terhadap kode bahasa.
BAB III
KAJIAN FIKSI
A.
Hakikat
Kajian Fiksi
Istilah
kajian atau pengkajian yang dipergunakan dalam penulisan ini menunjuk pada
pengertian penelaahan. Istilah itu merupakan pembendaan dari kerja mengkaji,
menelaah, atau meneliti. Novel dibangun dari sebuah unsur dan setiap unsur
saling berhubungan, saling menentukan, dan saling mempengaruhi. Kegiatan
analisis kesastraan yang mencoba memisahkan bagian-bagian dari keseluruhannya
tersebut, tidak jarang dianggap sebagai kerja yang sia-sia. Untuk memahami
sebuah novel, sering tidak semudah seperti yang diduga orang.
Fiksi
merupakan sebuah struktur organisme yang kompleks, unik, dan kadang-kadang
mempergunakan cara-cara yang tidak lazim. Tujuan utama kerja analisis
kesastraan, fiksi, puisi, ataupun yang lain, adalah untuk dapat memahami secara
lebih baik karya sastra yang bersangkutan. Manfaat dari kerja analisis adalah
jika kita membaca ulang teks-teks fiksi yang dianalisis itu, baik teks-teks itu
dianalisis sendiri maupun oleh orang lain.
B.
Pendekatan
Kajian Teks Kesastraan
Telaah
teks-teks kesastraan lazimnya mempergunakan pendekataan atau berdasarkan
teori-teori tertentu. Mengategorikan studi kesastraan menjadi empat pendekatan
yaitu pendekatan mimetik, ekspresif, objektif, dan pragmatik. Pada perkembangan
selanjutnya muncul pendekatan baru yaitu:
1.
Pendekatan strukturalisme dan formalisme
Rusia
a.
Strukturalisme
Sebuah
teks satra, fiksi atau puisi, menurut pandangan kaum strukturalisme adalah
sebuah totalitas yang dibangun secara keherensi oleh berbagai unsur
(pembangun)-nya. Setiap teks kesastraan memiliki sebuah struktur yang unik yang
khas yang menandai kehadirannya. Strukturalisme dapat dipandang sebagai suatu
pendekatan kesastraan yang menekankan pada kajian hubuungan antar unsur
pembangun karya yang bersangkutan. Strukturalisme bukan merupakan pandangan
tunggal dan bahkan dikenal juga diberbagai disiplin keilmuan yang lain.
Strukturalisme memberikan perhatian terhadap kajian unsur-unsur teeks
kesastraan. Analisis struktural tidak cukup dilakukan hanya sekadar mendata
unsur tertentu sebuah karya fiksi, misalnya peristiwa, plot, tokoh, latar, atau
yang lain. Strukturalisme tampak begitu mementingkan objek dan meniadakan
pengarang, maka kadang dipandang sebagai antihumanis.
b.
Formalisme Rusia
Formalisme
Rusia sengaja digabungkan dengan strukturalisme karena pandangan ini merupakan
awal kebangkitan strukturalisme selain juga hanya masalah penempatan. Dalam
kajian teks kesastraan Kaum Formalisme Rusia lebih mengutamakan aspek bentuk
dari pada isi.
Teks
sastra yang bagus adalah yang membuat kita pembaca terusik, terhentak sejenak,
karena dibawa untuk melihat dunia dengan cara yang tidak lazim, keluar dari
rutinitas. Kaum Formalis Rusia juga fokus pada teknik penceritaan. Hubungan
sintagmatik dan paradigmatik dapat juga dikaitkan dengan kajian dari aspek
waktu.
2.
Pendekatan semiotik
Dalam
pandangan semiotik yang berasal dari teori saussure bahasa merupakan sebuah
sistem tanda. Peletak dasar teori semiotik yaiti, Ferdinand de Saussure dan
Charles Sanders Peirce. Semioti model Saussure bersifat semiotik struktural,
model peirce bersifat semiotik analitik. Semiotik adalah ilmu atau metode
analisis untuk mengkaji tanda. Perkembangan semiotik dapat dibedakan ke dalam
dua jenis, yaitu semiotik komunikasi dan semiotik signifikasi.
a.
Teori semiotik Peirce
Teori Peirce mengatakan bahwa sesuatu itu
dapat disebut sebagai tanda jika ia mewakili sesuatu yang lain
b.
Teori Semiotik saussure
Teori Saussure sebenarnya berkaitan dengan
pengembangan teori linguistik secara umum, maka istilah-istilah yang dipakai
untuk bidang kajian semiotik meminjam dari istilah dan model linguistik.
3.
Pendekatan intertekstual
Kajian
intertekstual dimaksudkan sebagai kajian terhadap sejumlah teks, yang diduga
mempunyai bentuk-bentuk hubungan tertentu. Kajian intertekstual berangkat dari
asumsi bahwa kapan pun karya tulis, ia tidak mungkin lahir dari situasi
kekosongan budaya. Teks-teks kesastraan yang dijadikan dasar penulisan bagi
teks yang kemudian disebut dengan hipogram.
4.
Pendekatan dekonstruksi
Model
pendekatan dekonstruksi ini dalam bidang kesastraan khususnya fiksi, dewasa ini
terlihat banyak diminati orang sebagai salah satu model atau alternatif dalam
kegiatan pengkajian sastra. Dekonstruksi menolak pandangan bahwa bahasa telah
memiliki makna yang pasti, tertentu, dan konstan, sebagaimana halnya pandangan
srukturalisme klasik.
5.
Pendekatan psikoanalisis
Pendekatan
psikoanalisis berangkat dari konsep psikologi, yaitu psikoanalisis yang
diteorikan oleh Sigmud Freud. Freud membagi struktur kepribadian manusia ke
dalam tiga kategori yang saling berkaitan, yaitu id, ego, dan superego
6.
Pendekatan feminisme
Maggie
Hum (Wiyatmi, 2012:10) mengemukakan bahwa feminisme menggabungkan doktrin
persamaan hak bagi perempuan menjadi gerakan yang terorganisasi untuk mencapai
hak asasi dengan sebuah ideologi transformasi sosial yang bertujuan menciptakan
dunia bagi perempuan. Feminisme juga bukan merupakan gerakan atau paham baru
karena sudah bermula bahkan sejak abad ke-19.
BAB IV
TEMA
A.
HAKIKAT
TEMA
Setelah
selesai membaca sebuah cerita fiksi biasanya akan menghadapkan diri pada sebuah
pertanyaan .Hal-hal yang dipertanyakan itu,memang,pada umumnya tidak
diungkapkan secara eksplisit sehingga untuk memperolehnya di perlikan suatu
penafsiran.Mempertanyakan makna sebuah karya sebenarnya juga juga berarti mempertanyakan tema.Tema yang merupakan motif
pengikat keseluruhan cerita biasanya tidak semerta-merta ditunjukuan.
Usaha
mendefinisikan temasebagaimana dengan usaha pendefinisian hal-hal yang
lainya.Setiap orang tahu apa itu pensil dan mobil,namun belum tentu dapat
mendefinisikan.Masalah seperti itulah yang sering kita jumpai terhadap
persoalan tema baik untuk menjelaskan pngertian tema maupun untuk
mendiskripsikan pernyataan tema.Kejelasan pengertian tema akan membantu usaha
penafsiran dan pendeskripsian pernyataan tema sebuah cerita fiksi.
Stanton(1965:20)
dan Kenny (1966:88) mengemukaka bahwa tema adalah makna yang dikandun dlam
sebuah cerita.Untuk menentukan makna pokok sebuah novel ,kita perlu memiliki
kejelasan pengertian tentang makna pokok atau tema itu sendiri.Baldic(2001:258)
mengemukakaj bahwa tema adalah gagasan abstrak utama yang terdapat dalam sebuah
karya sastra atau yang secara yang terulang-ulang dimunculkan baik secara
eksplisit maupun implisit lewat pengulangan motif.
Jadiu
tema adalah gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra sebagai struktur
semantis dan bersifat abstrak yang secara berulang-ulang dimunculkan lewat
motif-motif dan biasanya dilakukan secara implisit.Dengan demikian untuk
menemukan tema sebuah kjarya fiksi,ia haruslah disimpilkan dari keseluruhan
cerita,tidak hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu cerita.
Pengertian
tema sebagaimana dikemukakan oleh Stanton(1965:21) yaitu tema sebagai makna
sebuah cerita yang secara khusus menerangkan sebagian besar unsurnya dengan
cara yang sderhana.Tema dengan demikian dapat dipandang sebagai dasar cerita
,gagasan dasar umum,nsebuah karya novel.
B.
TEMA:
MENGANGKAT MASALAH KEHIDUPAN
Ada
masalah-masalah kehidupan tertentu yang bersifat universal.Artinya, hal itu
akan dialami oleh setiap orang dimanapun dan kapanpun walau dengan tingkat
intensitas yang tidak sama.Tema sebuah karya sastra selalu berkaitan dengan
makna kehidupan.Dengan pengarang menawarkan makna tertentu kehidupan,mengajak
untuk melihat merasakan dan menghayati makna.Fiksi mengangkat berbagai masalah
dan pengalaman kehidupan baik berupa pengalaman yang bersifat individu maupn sosial.Masalah cinta tak
sampai.Misalnya dianka menjadi tema dalam banyak novel seperti azab dan sengsara, Sitti Nurbaya, Si Cebol
Rindukan Bulan, Di Bawah lindungan Kakbah, dan Tenggelamnya Kapal van Der Wijk masing-masing oleh merari siregar,Marah Rusli,
Aman datuk Modjoindo, Hmka.
Novel
dapat menyampaika dialog yang mampu menggerakan hati masyarakat pembaca.Namun
hal itu tidak berarti bahwa tema kemanusiaan yang ingin didialogkan harus
ditonjolkan sedemikian rupa sehingga “mengalahkan” unsur-unsur fiksi yang
lain,namn harys tetap berada pada “proporsi”yang semestinya sebagaiman halnya
penulisan karya seni yang menekankan tujuan estetik.Masalah kebenaran da
kaitannya dengan tema, yaitu tema yang ingin disampaikan dilakukan dengan cara
“pembenaran” sesuatu, baik ia berisi peristiwa, konflik, perwatakan tokoh,
hubungan tokoh, maupun unsur-unsur yang terkait.
C.
TEMA
DAN UNSUR CERITA YANG LAIN
Tema
dalam sebuah karya sastra, fiksi, hanyalah salah sat dari jumlah unsur pembangu
ceritayang lain yang secara bersama membentuk sebuah penyeluruhan.Denagn
demikian, swebuah tema baru aka menjadi makna cerita jika ada dalam
keterkaitannya dengan unsur-unsur cerita lainnya.Di pihak lain, unsur-unsur
tokoh, plot, latar, dan cerita menjadi padu jika diikat oleh sebuah tema.Tema
berfungsi memberi sebuah koherensi dan makna terhadap keempat unsur tersebut
dan juga berbagai unsur fiksi yang lain.
Plot
pada hakikatnya adalah apa yang dilakukan oleh tokoh dan peristiwa apa yang
terjadi dan dialamu oleh tokoh (Kenny, 1966:95).Latar merupakan tempat, saat,
dan keadaan sosial yang menjadi wadah tempat tokoh melakukan dan dikenai suatu
kejadian, latar adalah yang membentuk karakter tokoh.Pemlihan latar yang kurang
sesuai dengan unsur cerita yang lain, khususnya unsur tokoh dan tema, dapat
menyebabkan cerita menjadi kurang meyakinkan.Kehadiran unsur intrinsik dalam
cerita fiksi dimaksudkan untuk membangun cerita.Dengan demikian, dilihat dari
sudut ini cerita merupakan sarana untuk menyampaikan tema, makna, atau tujuab
penulis cerita fiksi itu.
Jika
berhadapan dengan teks-teks fiksi, yang notabene
cerita rekaan itu, yang kita jumpai adalah cerita.Yang jelas, kelancaran
cerita karen didukung oleh penempatan tema secara padu dan koherensi dengan
unsur-unsur pembangun yang lain, akan lebih baik dari pada cerita yang
tersendat dan terlalu menonjolkan tema.
D.
PENGGOLONGAN
TEMA
Tema
daoa digolongkan ke dalam beberapa kategori yang berbeda.Pengkategorian tema
yang akan dikemukakan berikut ini:
1.
Tema tradisional dan Nontradisional
Tema
tradisional dimaksudkan sebagai tema yang menunjukan pada tema yang hanya
“itu-itu” saja, dalam arti tema itu telah lama dipergunakan dan dapat ditemukan
dalam berbagai cerita termasuk cerita lama.Pada umumnya te,ma tradisional
merupakan tema yang digemari orang dengan status sosial apapun, dimanapun, dan
kapan pun
2.
Tingkatan Tema Menurut Shipley
Dalam
Dictionary of World Literature,
Shipley (1962:417) mengartika tema sebagai subjek wacana, topik umum, atau
masalah utama yang dituangkan kedalam cerita.
a.
Pertama, tema tingkat fisik, manusia
sebagai molekul.
b.
Kedua, tema tingkat organik, manusia
sebagai protoplasma.
c.
Ketiga, tema tingkat sosial, manusia
sebagai makhluk sosial.
d.
Keempat, tema tingkat egois, manusia
sebgai individu.
e.
Kelima, tema tingkat divine, manusia
sebagai makhluk tingkat tinggi.
3.
Tema Utama dan Tema Tambahan
Tema
pada hakikatnya merupakan makna yang dikandung cerita, atau secara singkat
dikatakan sebagai makna cerita. Makna pokok cerita tersirat dalam sebagian
besar, untuk tidak dikatakan dalam keseluruhan cerita. Makna-makna tambahan
bukan merupakan sesuatu yang berdiri sendiri, terpisah dari makna pokok cerita
yang bersangkutan berhubung sebuah novel yang jadi merupakan satu kesatuan.
E.
PENAFSIRAN
TEMA
Kegiatan
menafsirkan tema sebuah cerita fiksi, barangkali, merupakan tugas yang paling
banyak dibebankan pada peserta didik.Dalam kegiata pembelajaran, jalan pintas
yang sering pak guru adalah memberitahukan bahka mungkin sekali:mendiktekan
atau
memberi tahu tema novel-novel itu kepada peserta didik.Penafsiran tema
dalam sebuah novel memang bukan pekerjaan yang mudah seperti tampaknya.Walau
betul penulisan sebuah novel didasarkan pada tema atau ide tertentu.Karena tema
tersembunyi dibalik cerita, penafsiran terhadpnya haruslah dilakukan terhadap
fakta-fakta yang ada yang secara keseluruhan membangun cerita itu.
Dalam
sebuah cerita fiksi, lazimnya ada tokoh utama, koflik utama, dan tema
utama.Stanton(1965:22-23) mengemukakan adanya sejumlah kriteria yang
dapat diikuti seperti ditunjukan berikut:
1.
Pertama, penafsiran tema sebuah novel
hendaknya mempertimbngkan tiap detil cerita yang menonjol.
2.
Kedua, penfsiran tema sebuah novel
hendaknya tidak bersifat bertentangan dengan tiap detil cerita.
3.
Ketiga, penafsiran tema sebuah novel
hendaknya tidak mendasarkan diri pada bukti-bukti yng tidak dinyatakan baik
secara langsung maupun tidak langsung dalam novel yang tidak bersangkutan.
4.
Keempat, penafsira tema sebuah novel
haruslah mendasarkan diri pada bukti-buki yang secara langsung ada dan atau
yang disarankan dalam cerita.
BAB V
CERITA
A.
Hakikat
Cerita
Membaca
sebuah cerita fiksi, novel, ataupun cerpen, pada umumnya yang pertama-tama
menarik perhatian orang adalah ceritanya. Faktor cerita inilah terutama yang
mempengaruhi sikap dan selera orang terhadap buku yang akan, sedang, atau sudah
dibacanya. Membaca sebuah buku cerita akan memberikan semacam kenikmatan dan
kepuasan tersendiri dihati pembaca, baik ia pembaca awam maupun pembaca yang
dapat dikategorikan sebagai kritikus. Aspek
cerita (story) dalam sebuah karya
fiksi merupakan suatu hal yang amat esensial. Ia memiliki peranan sentral. Dari
awal hingga akhir karya itu yang ditemui adalah cerita. Tanpa unsur cerita,
eksistensi sebuah fiksi tidak mungkin berwujud. Forster (1970:35) mengartikan
cerita sebuah narasi sebagai kejadian yang sengaja disusun berdasarkan uurtan
waktu. Seperti halnya Forster, Abrams (1999:173) juga memberikan pengertian
cerita sebagai sebuah urutan kejadian yang sederhana dalam urutan waktu, dan
Kenny (1966:12) mengartikan sebagai peristiwa-peristiwa yang terjadi
berdasarkan urutan waktu yang disajikan dalam sebuah karya fiksi. Makaryk
(1995:632) mengemukakan bahwa cerita merupakan peristiwa yang temporal.
Pengertian yang tidak berdeda, Baldic (2001:244) mengemukakan bahwa cerita
adalah pengisahan pengurutan peristiwa.
B.
Cerita
dan Plot.
Cerita
dan Plot merupakan dua unsur fiksi yang amat erat berkaitan sehingga keduanya
tidak mungkin dipisahkan. Oleh karena itu, sebenarnya dapat juga dikatakan
bahwa dasar pembicaraan cerita adalah plot, dan dasar pembicaraan plot adalah
cerita. Terdapat perbedaan inti permasalahan antara cerita dan plot. Cerita
sekedar mempertanyakan apa dan atau bagaimana kelanjutannya peristiwa, sedang
plot lebih menekankan permasalahannya pada hubungan kausalitas, kelogisan
hubungan antar peristiwa yang dikisahkan dalam karya naratif yang bersangkutan.
Forster (1970:94) merupakan perbedaan fundamental antara cerita dan plot
tersebut. Perbedaan itu kiranya dapat disejajarkan dengan pembedaan antara fabula dan sujet yang diteorikan oleh kaum formalisme Rusia. Cerita lebih
dekat dengan fabula, sedang plot adalah sujet itu.
C.
Cerita
dan pokok permasalahan
Pokok
permasalahan merupakan suatu hal yang diangkat kedalam cerita sebuah karya
fiksi. Terdapat berbagai permasalahan yang sering dihadapi manusia, misalnya
permasalahan hubungan antar manusia, sosial, hubungan manusia dengan tuhan,
dengan lingkungan, dengan diri sendiri, dan sebagainya. Permasalahan yang telah
dipilih dan kemudian diolah untuk menjadikan cerita dalam sebuah karya fiksi
dapat disebut sebagai isi cerita, Kenny (1966:10) mengemukakan bahwa terdapat
perbedaan antara pokok permasalahan dan isi cerita. Isi cerita adalah sesuatu
yang dikisahkan dalam sebuah teks fiksi. Pemilihan pokok permasalahan ke dalam
sebuah teks fiksi biasanya ada kaitannya dengan pemilihan tema. Tema mungkin
sekali disarikan dari pokok permasalahan (yang telah menjadi isi cerita) yang
diungkapkan, atau sebaliknya. Oleh karena itu amat dimungkinkan adanya beberapa
pokok masalah yang berbeda, namun memiliki kesaman tema.
D.
Cerita
dan fakta
Sebuah
karya mungkin saja ditulis berdasarkan data-data faktual, persitiwa, dan
sesuatu yang lain yang benar-benar ada dan terjadi. Namun, dapat pula ditulis
“hanya” berdasarkan peristiwa dan sesuatu yang dibayangkan. Masalah ketegangan
hubungan antara yang nyata dan yang rekaan dalam teks-teks kesastraan sudah
dipersoalkan oleh Aristoteles, yaitu dengan teori mimetik dan creation-nya.
Yang pertama menunjuk pada peniruan (atau bahkan:pengambilan) model kehidupan
nyata, sedang yang kedua pada penciptaan model kehidupan sesuai dengan
kemampuan kreativitas pengarang. Adanya fiksi yang benar-benar hasil kreasi
imajinasi, kita dapat juga menemukan fiksi yang mengambil bahan sejarah.
Penulisan sejarah terikat pada data-fakta yang benar ada dan terjadi, data
fakta yang memiliki validitas empiris yang dapat dipertanggung jawabkan. Walau
mendasarkan diri pada fakta sejarah, fiksi jauh lebih memiliki unsur kebebasan,
ia dapat memadukan fakta sejarah dan fakta imajinatif dengan mesra. Karangan
yang mengandung unsur imajinasi sebenarnya bukan hanya monopoli karya fiksi
yang sering disebut sebagai karya imajinatif, sebaliknya karangan yang
mempergunakan data dan peristiwa faktual juga bukan merupakan monopoli karya
nonfiksi. Unsur imajinasi jauh lebih menonjol dalam karya fiksi, sedang unsur
realitas lebih menonjol dalam karya nonfiksi.
BAB VI
PLOT
A.
HAKIKAT PLOT DAN PEMLOTAN
Plot merupakan unsur fiksi yang penting, bahkan tidak sedikit orang
yang menganggapnya sebagai yang terpenting diantara berbagai unsur fiksi yang
lain. Tinjauan struktural terhadap teks fiksi pun sering lebih ditekakan pada
pembicara plot walau mungkin mempergunakan istilah lain. Sebuah plot teks fiksi
yang kompleks, ruwet, dan sulit dikenali hubungan klausalitas antar peristiwa,
menyebabkan cerita menjadi lebih sulit dipahami. Itulah sebabnya novel yang
lebih bersifat menceritakan sesuat, atau tujuan utamanya adalah menyampaikan
cerita-ingat karakteristik novel populer-akan selalu memilih cara-cara pemlotan
yang sederhana, bahkan tidak jarang menjadi bersifat stereotip. Novel yang
tergolong aluran akan sangat
memperhatikan struktur plot sebagai salah satu kekuatan novel itu untuk efek
estetis.
Staton (1965:14) misalnya, mengemukakan bahwa plot merupakan cerita
yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara
sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadi peristiwa
yang lain. Karena terkaitan antar perisiwa itu sering tidak langsung dan
tempatnya secara linier berjauhan, untuk memahaminya dengan baik, masih
memerlukan penjelasan. Disinilah letak pentingnya daya intelektual sebagaimana
yang di maksud Foster daya intelektual memerlukan daya ingat memori yang
dianggap sebagai sesuatu yang penting walau sebenernya yang terjadi lebih dari
sekedar kognitif mengingat saja
B.
PERISTIWA, KONFLIK, DAN KLIMAKS
Peristiwa, konflik, dan klimaks merupakan tiga unsur yang amat
esensial dalam pengembangan sebuah plot cerita. Eksetensi plot itu sendiri
sangat ditentukan oleh tiga unsur tersebut.
1.
Peristiwa
Peristiwa dapat diartikan sebagai peralihan dari suatu keadaan ke
keadaan yang lain(Luxenburg dkk,
1992:150)peraliahan satu aktivitas ke aktivitas yang lain. Peristiwa Fungsional, kaitan, acuan. Peristiwa
funsional adalah peristiwa-peristiwa yang menentukan dan atau mempengaruhi
perkembangan plot. Peristiwa kaitan adalah peristiwa yang berfungsi mengaitkan
peristiwa penting dalam pengurutan penyajian cerita atau secara plot. Peristiwa
acuan adalah peristiwa yang tidak secara langsung berpengaruh dan atau
berhubungan dengan perkembangan plot, melainkan mengacu pada unsur-unsur lain.
2.
Konflik
Konflik(conflict), yang notabene adalah kejadian yang tergolong
penting, akan berupa peristiwa fungsional, utama, atau kernel dalam
pengatagorian. Konflik menunjuk pengertian sesuatu hal yang bersifat tidak
menyenangkan yang terjadi dan atau dialami oleh tokoh-tokoh cerita, yang jika
tokoh-tokoh itu mempunyai kebebasan untuk memilih ia(mereka) tidak akan memilih
peristiwa itu menimpa dirinya(meridith & Fitzgereald, 1972:72). Konflik ada
dua jenis yaitu konflik eksternal dan internal. Pengetian konfli eksternal
merupakan konflik yang terjadi antara seorang tokoh dengan sesuatu yang luar
dirinya, mengkin lingkungan alam, manusia atau tokoh lainnya. Sedangkan konflik
internal merupakan konflik yang terjadi dalam hati dan pikiran, dalam jiwa
seorang tokoh.
C.
Kaidah pemlotan
Novel merupakan sebuah karya yang bersifat imajinatif dan kreatif.
Sifat kreatif itu antara lain terlihat pada kebebasan pengarang untuk
mengemukakan cerita, peristiwa, konfik, tokoh dan lain-lain. Kaidah pemlotan
antara lain plausibilitas, adanya unsur kejutan, rasa ingin tahu, dan kepaduan
( kenny, 1966:19-22).
1.
Plausibilitas adalah suatu
hal yang dapat dipercayai
2.
Rasa ingin tahu adalah
membangkitkan rasa ingin tahu dihati pembaca
3.
Adanya unsur kejutan adalah
rasa ingin tahu pembaca juga mampu menunjukan kejutan sesuatu yang bersifat
mengejutkan.
4.
Kesatupaduan adalah bahwa
berbagai unsur yang tampil khususnya peristiwa dan konflik memiliki
keterkaitan.
D.
Penahapan plot
Secara teoritis plot dapat diuritkan dalam tahap-tahap tertentu
secara kronologis, secara teoritis dan kronologis struktur plot dibicarakan
seperti dibawah ini.
1.
Tahap plot awal tengah akhir
Tahap awal sebuah cerita biasanya disebut sebagai tahap perkenalan.
Tahap perkenalan pada umumnya berisi sejumlah informasi penting yang berkaitan
dengan berbagai hal yang akan dikisahkan pada tahap-tahap berikutnya. Tahap
tengah cerita menampilkan pertentangan dan atau konflik yang sudah mulai
dimunculkan pada tahap sebelumnya. Tahap akhir menampilkan adegan tertentu
sebagai akibat klimaks.
2.
Tahap plot: rician lain
a.
Tahap situation
Tahap penyituasian, tahap yang terutama berisi pelukisan dan
pengenalan situasi latar dan tokoh-tokoh cerita
b.
Tahap generating
circumstances
Tahap pemunculan konflik, masalah-masalah dan peristiwa-peristiwa
yang menyulut terjadinya konflik mulai dimunculkan.
c.
Tahap rising action
Tahap peningkatan konflik, konflik yang telah dimunculkan pada
tahap sebelumnya semakin berkembang dan dikembagkan kadar intensitasnya.
d.
Tahap climax
Konflik atau pertentangan yang terjadi, yang dilakukan dan atau ditimpakan
kepada para tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak
e.
Tahap denaoument
Tahap penyelesaian, konflik yang telah mencapai klimaks diberi
jalan keluar, cerita diakhiri.
3.
Diagram struktur plot
Konflik dimuncukan dan semakin ditingkatkan. Konflik dan keterangan
dikendorkan atau diselesaikan. Inseting forces menunjuk pada hal-hal yang
semakin meningkat konflik menjadi klimaks
4.
Pembedahan plot
Plot dikatagorikan kedalam beberapa jenis yang berbeda berdasarkan
sudut tinjauan kriteria yang berbeda.
a.
Pembedaan plot berdasarkan
kriteria ukuran waktu
Waktu terjadi peristiwa yang diceritakan dalam teks fiksi yang
bersangkutan.
b.
Pembedaan plot berdasarkan
kriteria jumlah
Sebagai banyaknya plot cerita yang terdapat dalam sebuah fiksi.
c.
Pembedaan plot berdasarkan
krteria kepadatan
Sebagai padat pengembangan dan perkembangan cerita pada sebuah
fiksi.
d.
Pembedaan plot berdasarkan
kriteria isi
Sebagai sesuatu masalah kecenderungan masalah, yang di ungkapkan
dalam cerita.
5.
Contoh kajian plot
Ditunjukan salah satu penelitian tentang plot yang berangkat dari
konsep fabula dan sujet terhadap novel saman (ayu utami). Penelitian struktur
plot segaja diakukan pada novel itu karena dilihat dari segi pemlotan, saman
terlihat lain dari novel-novel sebelumnya.
BAB VII
TOKOH
A.
Unsur
Penokohan dalam Fiksi
Toko
dan penokohan merupakan unsur yang penting dalam cerita fiksi.
1.
Hakikat penokohan
Dalam
pembicaraan sebuah fiksi, sering dipergunakan istilah-istilah seperti tokoh dan
penokohan watak dan perwatakan, atau karakter dan karakterisasi secara
bergantian dengan menunjuk pengertian yang hampir sama. Istilah tokoh menunjuk
pada orangnya, pelaku cerita, misalnya sebagai jawaban terhadap pertanyaan:
“Siapakah tokoh utama novel itu?” penggunaan istilah karakter dalam berbagai
lieratur bahasa inggris menyaran pada dua pengetian yang berbeda, yaitu sebagai
tokoh cerita yang ditampilkan dan sebagai sikap ketertarikan, keinginan, emosi,
dan prinsip moral yang dimiliki tokoh-tokoh tersebut.
Tokoh
cerita adalah orang-orang yang ditampilkan dalam sesuatu karya naratif, atau
drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan
tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam
tindakan. Istilah penokohan lebih luas pengertiannya dari pada tokoh dan
perwatakan.
Kewajaran.
Fiksi
adalah suatu bentuk karya kreatif, maka bagaimana pengarang mewujudkan dan
mengembangkan tokoh-tokoh ceritanya pun tidak lepas dari kebebasan
kreativitasnya. Walau tokoh cerita ‘hanya’ merupakan tokoh ciptaan pengarang,
ia haruslah merupakan seorang tokoh yang hidup secara wajar. Tokoh cerita
menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, moral,
atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca.
Kesepertihidupan.
Masalah kewajaran tokoh cerita sering dikaitkan dengan kenyataan kehidupan
manusia sehari-hari. Usaha memahami atau
menilai tokoh cerita hanya mendasarkan diri pada kriteria kesepertihidupan saja
tidak cukup atau bahkan tidak tepat. Realitas kehidupan manusia memang perlu
dipertimbangkan dalam kaitannya dengan kehidupan tokoh cerita.
Tokoh
rekaan versus tokoh nyata. Tokoh-tokoh cerita
yang ditampilkan dalam fiksi, sesuai dengan namanya yang adalah tokoh rekaan,
tokoh yang tidak pernah ada di dunia nyata. Pengangkatan tokoh sejarah dalam
cerita fiksi dan berhubungan langsung dengan tokoh-tokoh cerita, justru semakin
mempertinggi kadar fiksionalitas karya yang bersangkutan. Pengangkatan tokoh sejarah dalam cerita fiksi
umumnya bukan berstatus tokoh utama.
2.
Penokohan dan unsur cerita yang lain
Penokohan
merupakan bagian, unsur, yang bersama dengan unsur-unsur yang lain membentuk
sebuah totalitas. Penokohan sebagai salah satu unsur pembangun fiksi dapat
dikaji dan dianalisis keterjalinannya dengan unsur-unsur pembangun lainnya.
Penokohan
dan pemlotan. Plot merupakan sesuatu yang bersifat
artifisial. Penokohan dan pemlotan merupakan dua fakta cerita yang saling
memengaruhi dan menggantungkan satu dengan yang lain.
Penokohan
dan tema. Sebagai unsur utama fiksi, penokohan
erat hubungan dengan tema. Dalam kebanyakan cerita fiksi, tema umumnya tidak
dinyatakan secara eksplisit. Usaha
penafsiran tema antara lain dapat dilakukan melalui detail kejadian dan atau
konflik yang menonjol.
3.
Relevansi tokoh
Pembaca
sering memberikan reaksi emotif tertentu seperti merasa akrap, simpati, empati,
benci, antipati, atau berbagai reaksi afektif lainnya. Salah satu bentuk
relevansi tokoh sering dihubungkan dengan keadaan kesepertihidupan,
lifelikeness. Pengarang mempunyai kebebasan menciptakan tokoh yang
bagaimanapun. Jika dengan kriteria kesepertihidupan pengaaman tokoh cerita
dengan pengalaman kehidupan kita dianggap sebagai bentuk relevensi. Pembedaan
antara tokoh utama dan tokoh tambahan tidak dapat dilakukan secara eksak.
4.
Tokoh protagonis dan tokoh antagonis
Tokoh
protagonis adalah tokoh yang kita kagumi yang salah satu jenisnya secara
populer disebut hero-tokoh yang merupakan pengejawantahan norma-norma nilai
yang ideal bagi kita. Tokoh antagonis adalah tokoh yang beroposisi dengan tokoh
protagonis, secara langsung ataupun tidak langsung, bersifat fisik ataupun
batin. Tokoh antagonislah yang menyebabkan timbulnya konflik dan ketegangan
sehingga cerita menjadi menarik. Konflik yang dialami oleh tokoh protagonis
tidak harus hanya yang disebabkan oleh tokoh antagonis seorang (beberapa orang)
individu yang dapat ditunjuk secara jelas. Penyebab terjadinya konflik dalam
sebuah novel, mungkin berupa tokoh antagonis, kekuatan antagonis, atau keduanya
sekaligus. Menentukan tokoh-tokoh cerita ke dalam protagonis dan antagonis
kadang-kadang tidak mudah, atau paling tidak, orang bisa berbeda pendapat.
Umumnya
pembaca dapat mengerti, memahami, dan sebagaimana halnya dengan larasati
memaafkan kekeliruannya itu. Seorang tokoh cerita dapat berubah, khususnya pada
tokoh yang berkembang, sehingga tokoh yang semula diberi rasa antipati
belakangan justru menjadi disimpati, atau sebaliknya.
5.
Tokoh sederhana dan tokoh bulat
Pembedaan
tokoh sederhana dan tokoh bulat dilakukan berdasarkan perwatakannya. Tokoh
sederhana, dalam bentuknya yang asli, adalah tokoh yang hanya memiliki satu
kualitas pribadi tertentu, satu sifat watak tertentu saja. Tokoh sederhana
dapat saja melakukan berbagai tindakan, namun semua tindakannya itu akan dapat
dikembalikan pada perwatakan yang dimiliki dan yang telah diformulakan itu.
Tokoh
bulat adalah tokoh yang memiliki dan diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya,
sisi kepribadian, dan jati dirinya. Tokoh kompleks, dengan demikian, lebih
sulit dipahami dan terasa kurang familiar karena yang ditampilkan adalah
tokoh-tokoh yang kurang akrap dan kurang dikenal.
Tingkat
kompleksitas. Pembedaan tokoh ceria ke dalam kategori
tokoh sederhana dan kompleks sebenarnya lebih bersifat teoretis sebab pada
kenyataannya tidak ada ciri pembedaan
yang pilah di antara keduanya. Pembedaan ke dalam tokoh sederhana dan kompleks
masing-masing sebagai tokoh yang hanya diungkapkan satu sisi dan berbagai sisi
kehidupannya.
Fungsi.
Tokoh sederhana tampak kurang sesuai dengan realitas kehidupan sebab tidak ada
seoranga pun yang hanya memiliki satu sifat watak tertentu. Tokoh kompleks atau
pun sederhana haruslah dilihat dari dipertimbangkan dari fungsinya dalam
keseluruh cerita. Tokoh sederhana tetap diperlukan kehadirannya dalam sebuah
novel. Sebuah novel biasanya menyajikan cerita yang cukup panjang sehingga
mungkin sekali menampilkan tokoh utama bulat. Pengembangan tokoh bulat, dipihak
lain lebih memerlukan daya kreativitas tinggi. Tokoh sederhana akan mudah
dikenal di manapun dia hadir dan mudah diingat oleh pembaca. Untuk menampilkan
tokoh sederhana yang sebagai tokoh utama, perlu dibedakan ke dalam tokoh
sederhana sterotip sebagai pengganti imajinasi dan tokoh sederhana yang
diindividualkan.
6.
Tokoh statis dan tokoh berkembang
Tokoh
statis adalah tokoh cerita yang secara esensial tidak mengalami perubahan dan
atau perkembangan perwatakan sebagai akibat adanya peristiwa-peristiwa yang
terjadi. Tokoh berkembanga, di pihak lain, adalah tokoh cerita yang mengalami
perubahan dan perkembangan perwatakan sejalan dengan perkembangan (dan
perubahan) peristiwa dan plot
dikisahkan. Dalam penokohan yang bersifat statis dikenal dengan adanya tokoh
hitam dan putih, yaitu tokoh yang statis hitam dan statis putih. Tokoh hitam
putih biasanya akan cepat menjadi stereotip karena sebenarnya mereka merupakan
pengejawantahan ajaran moral kita yang bersifat baik buruk dan stereotip juga
mudah dan cepat dikenal sebagai tokoh simbol tertentu.
7.
Tokoh tipikal dan tokoh netral
Tokoh
tipikal adalah tokoh yang hanya sedikit ditampilkan keadaan individualitasnya
dan banyak ditonjolkan kualitas pekerjaan atau kebangsaannya, atau sesuatu yang
lain yang lebih bersifat mewakili. Tokoh netral adalah tokoh cerita yang
bereksistensi demi cerita itu sendiri. Penokohan tokoh cerita secara tipikal
pada hakikatnya dapat dipandang sebagai reaksi, tanggapan, penerimaan,
tafsiran, oleh pengarang terhapap tokoh manusia di dunia nyata. Tokoh tipikal
dalam sebuah novel mungkin hanya seorang atau beberapa orang saja, misalnya
sebatas tokoh utama atau mungkin tokoh tambahan.
B.
Teknik
penulisan tokoh
1.
Teknik eksporitoris
Dalam
teknik eksporitoris, yang sering disebut sebagai teknik analitis, penuisan
tokoh cerita dilakukan dengan memberikan deskripsi, uraian, atau penjelasan
secara langsung. Pengarang dengan cepat dan singkat dapat mendeskripsikan jati
diri tokoh ceritanya. Pemertahanan pola kedirian tokoh dapat teretak pada
konsistensi pemberian sifat, sikap, watak, tingkah laku, dan juga kata-kata
yang keluar dari tokoh yang bersangkutan. Deskripsi kedirian tokoh yang
dilakukan secara langsung oleh pengarang akan berwujud penuturan yang bersifat
deskriptif pula. Kedirian tokoh telah dideskripsikan secara jelas, pembaca
seolah-olah kurang didorong dan diberi kesempatan.
2.
Teknik dramatik
Penampilkan
tokoh cerita dalam teknik dramatik, artinya mirip dengan yang ditampilkan pada
drama, yaitu dilakukan secara tidak langsung. Kelebihan teknik dramatik adalah
sifatnya yang lebih sesuai dengan situasi kehidupan nyata. Dalam kehidupan
sehari-hari kita pun rasanya hampir tidak pernah “mendeskripsikan” sifat-sifat
atau watak orang lain. Kelemahan teknik dramatik adalah sifatnya yang tidak
ekonomis.
Wujud
penggambaran teknik dramatik. Penampilan tokoh secara
dramatik dapat dilakukan lewat sejumlah teknik.
3.
Teknik cakapan
Percakapan
yang dilakukan oleh tokoh-tokoh cerita biasanya juga dimaksud untuk
menggambarkan sifat-sifat tokoh yang bersangkutan. Untuk mengenal secara lebih
lengkap, kita harus menafsirkannya dari keseluruhan wacana cerita, khususnya
lewat teknik-teknik pelukisan karakteristik kedirian tokoh yang lain.
4.
Teknik tingkah laku
Teknik
tingkah laku menunjuk pada tindakan nonverbal, fisik. Dalam sebuah cerita
fiksi, kadang-kadang tampak ada tindakan dan tingkah laku tokoh yang tampak
netral, kurang menggambarkan sifat kediriannya.
5.
Teknik pikiran dan perasaan
Pada
hakikatnya “tingkah laku” pikiran dan perasaanlah yang kemudian diejawantahkan
menjadi tingkah lak verbal dan non verbal itu. Pembaca akan dapat menafsirkan
sifat-sifat kedirian tokoh itu berdasarkan jalan pikiran dan perasaannya itu.
Teknik pikiran dan perasaan dapat ditemukan dalam teknik cakapan dan tingkah
laku.
6.
Teknik arus kesadaran
Teknik
arus kesadaran berkaitan erat dengan teknik pikiran dan perasaan. Aliran
kesadaran berusaha menangkap dan mengungkapkan proses kehidupan batin, yang
memang hanya terjadi di batin, baik yang ada diambang kesadaran maupun ketidak
sadaran, termasuk kehidupan bawah sadar.
7.
Teknik reaksi tokoh
Teknik
reaksi tokoh dimaksudkan sebagai reaksi tokoh terhadap suatu kejadian, masalah,
keadaan, kata, dan sikap tingkah laku orang lain, dan sebagainya yang berupa
“rangsang” dari luar tokoh yang bersangkutan.
8.
Teknik reaksi tokoh lain
Reaksi
tokoh-tokoh lain dimaksudkan sebagai reaksi yang diberikan oleh tokoh lain
terhadap tokoh utama, atau tokoh yang dipelajari kediriannya, yang berupa
pandangan, pendapat, sikap, komentar, dan lain-lain.
9.
Teknik penulisan latar
Suasana
latar sekitar tokoh juga sering dipakai untuk melukiskan jati dirinya. Suasana
latar sering juga kurang ada hubungannya dengan penokohan, paling tidak
hubungan tidak langsung.
10. Teknik
penulisan fisik
Pelukisan
keadaan fisik tokoh, dalam kaitannya dengan penokohan, kadang-kadang memang
terasa penting. Keadaan fisik tokoh perlu dilukiskan, terutama jika ia memiliki
bentuk fisik khas sehingga pembaca dapat menggambarkan secara imajinatif.
11. Catatan
tentang identitas tokoh
Pada
awal cerita, pembaca belum mengenal tokoh, namun sejalan dengan perkembangan
cerita pula, pembaca akan menjadi semakin kenal dan akrab. Untuk mengenali
secara lebih baik tokoh-tokoh cerita, kita perlu mengidentifikasi kedirian
tokoh-tokoh itu secara cermat. Usaha pengidentifikasian melalui prinsip-prinsip
sebagai berikut:
a.
Prinsip pengulangan
Sifat
kedirian tokoh yang diulang-ulang biasanya untuk menekankan dan atau
mengintensifkan sifat-sifat tertentu yang menonjol sehingga pembaca dapat
memahami dengan jelas. Prinsip pengulangan dipergunakan cukup menonjol dalam Sri Sumarah untuk menggambarkan jati
diri tokoh Sri yang selalu pasrah sumarah menerimaa nasib.
b.
Prinsip pengumpulan
Usaha
pengidentifikasian tokoh, dapat dilakukan dengan mengumpulkan informasi
kedirian yang “berserakan” di seluruh tempat cerita tersebut sehingga akhirnya
diperoleh data yang lengkap. Berbagai informasi tentang kedirian yang
berserakan itu kemudian digabungkan sehingga dapat saling melengkapi dan
menghsilkan gambaran yang padu tentang kedirian tokoh yang bersangkutan.
c.
Prinsip kemiripan dan pertentangan
Identifikasi
tokoh yang mempergunakan prinsip kemiripan dan pertentangan dilakukan dengan
memperbandingkan antara seorang tokoh dan tokoh lain dari cerita fiksi yang
bersangkutan. Berbagai informasi kedirian tokoh yang diperbandingkan dengan
tokoh lain dapat disajikan ke dalam bentuk tabel.
BAB VIII
LATAR
A.
LATAR
SEBAGAI UNSUR FIKSI
1.
Hakikat Latar
Latar atau seting sering disebut sebagai
landas tumpu, menunjuk pada pengertian tempat, hubungan waktu sejarah, dan
lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan
(Abrams, 1999:284). Tahap awal karya fiksi pada umumnya berisi penyituasian
pengenalan terhadap berbagai hal yang akan diceritakan. Latar memberikan
pijakan ceita secara konkret dan jelas. Hal ini perlu untuk memberikan kesan
realistis kepada pembaca, sehingga tercipta suasana tertentu yang seolah-olah
benar-benar ada. Sehingga pembaca merasa difasilitasi dan dipermudah untuk
mengembangkan daya imajinasinya, selain utu pembaca juga mendapatkan
pengetahuan tentang latar. Pembaca akan mendapatkan informasi baru yang berguna
dan menambah pengalaman hidup.
2.
Latar Fisik dan Spiritual
Latar
tempat secara jelas menunjuk pada lokasi tertentu, yang dapat dilihat dan
dirasakan kehadirannya, disebut sebagai latar fisik. Sedangkan keadaan yang
agak berbedaadalah latar yang berhubungan dengan waktu. Latar fiksi tidak terbatas pada penunjukan
lokasi-lokasi tertentu, atau sesuatu yang bersifat fisik saja, melainkan juga
yang berwujud tata cara adat istiadat, budaya, dan nilai-nilai yang berlaku di
tempat yang bersangkutan, hal-hal diatas sering disebut sebagai latar spiritual.
Jadi, latar spiritual adalah nilai- nilai yang melingkupi dan dimiliki oleh
latar fisik (Kenny, 1966:39).
3.
Latar Netral dan Fungsional
Latar
dalam sebuah karya fiksi barangkali hanya berupa latar yang hanya sebagai latar
saja. Karena sebuah cerita membutuhkan landas tumpu pijakan. Sebuah nama tempat
hanya sekedar sebagai tempat terjadinya peristiwa yang diceritakan, tidak lebih
dari itu, latar yang seperti itulah yang disebut latar netral. Latar fungsional
memiliki dan meninjolkan sifat dan ciri khas tertentu, baik yang berupa unsur
tempat, waktu, dan sosial budaya. Jadi latar fungsional adalah unsur yang
memiliki fungsi yang menonjol dalam kaitannya degan cerita secara keseluruhan.
Latar fungsional dalah latar yang mampu memengaruhi atau bahkan mamou menentukan
pengembangan plot dan pembentukan karakter tokoh.
4.
Penekanan Unsur Latar
Unsur
latar yang ditekankan dalam sebuah novel, langsung ataupun tidak langsung akan
berpengaruh terhadap elemen fiksi yang lain, khususnya alur dan tokoh. Jika
elemen tempat mendapatkan penekanan dalam sebuah novel, ia akan dilengkapi
dengan sifat khas keadaan geografis setempat yang merincikannya, yang disebut
sebagai landmark., yang berbeda
dangan tempat-tempat lain Penekanan waktu juga banyak ditemui di berbagai karya
jfiksi di indonesia. Elemen waktu biasanya dikaitkan dengan keadaan faktual,
peristiwa sejarah juga terbukti dapat dijalin secara integral dan dapat
mempengaruhi pengembangan plot dan penokohan. Peristiwa sejarah tertentu yang
diangkat dalam karya fiksi memberikan landasan waktu secara konkret, penokohan
dan plot tinggal menyesuaikan.
Peran
latar fungsional yang menonjol dalam sebuah karya fiksi dapat mencakup semua
unsur, namun mungkin juga hanya menyangkut satu-dua unsur saja. Perlu juga
ditekankan bahwa kadar penekanan latae, walau sama-sama mendapatkan penekanan,
ada perbedaan intensitas.
5.
Latar dan Unsur Fiksi yang Lain
Latar
sebuah karya sekedar berupa penyebutan tempat, waktu, dan hubungan sosial
tertentu secara umum, artinya bersifat netral pada umumnya dan tidak berperan
dalampengembangan cerita secara keseluruhan. Latar dan penokohan mempunyai
hubungan erat dan bersifat timbal balik. Sifat-sifat latar terutama latar
spiritual, dalam banyak hal, akan memengaruhi sifat-sifat tokoh. Masalah status
sosial juga berpengaruh dalam penokohan. Pengangkatan tokoh dari kelas sosial
rendah tentu berbeda dengan pengangkatan tokoh sosial kelas atas. Penokohan dan
pengaluran memang tidak hanya ditentukan oleh latar, namun peranan latar
haruslahdiperhitungkan, karena apabila latar dengan penokohan terjadi
ketidakseimbangan cerita menjadi kurang wajar, dan menjadi kurang meyakinkan.
Latar dalam kaitannya dengan waktu, akan berpengaruh terhadap cerita dan
pemlotan, khususnya waktu yang dikaitkan dengan unsur kesejarahan. Ketika
peristiwa sejarah diangkat dalam sebuah novel maka harus tidak bertentangan
dengan kenyataan sejarah itu, jika terjadi ketidak sesuaian maka cerita akan
menjadi tidak masuk akal yang disebut anakronisme.
B.
UNSUR
LATAR
1.
Latar Tempat
Latar
tempat menunjukan pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam
sebuah karya fiksi. Penggunaan latar tempat dengan nama-nama tertentu haruslah
mencerminkansifat dan keadaan geografis tempat yang bersangkutan. Untuk
mendiskripsikan suatu tempat secara
meyakinkan seorang penulis harus menguasai medan. Seperti situasi geografis
lokasi yang bersangkutan lengkap dengan karakteristik dan sifat khasnya seperti
adanya landmark. Tempat menjadi
sesuatu yang bersifat khas, tipikal, dan fungsional. Ia akan memengaruhi
pengaluran dan penokohan, dan karenanya cerita akan menjadi koheren secara
keseluruhan. Pengankatan lokasi secara tipikal dan fungsional, menunjukan bahwa
latar digarap secara teliti oleh pengarang. Penyebutan latar tempat yang kurang
jelas simungkinkan karena perannya dalam karya kurang dominan. Ketidak jelasan
latar tempat juga disebabkan bahwa peristiwa yang diceritakan terjadi di tempat
lain yang mempunyai keadaan dan sifat mirip. Keberhasilan latar tempat len=bih
ditentikan pada ketepatan diskripsi, fungsi, dan keterpaduan dengan unsur latar
yang lain sehingga semuanya bersifat saling mengisi.
2.
Latar Waktu
Latar
waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang
diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya
berhubungan dengan waktu sosial, waktu yang ada kaitannyaatau dapat dkaitkan
dengan peristiwa sejarah. Masalah waktu dalam karya naratif, kata Genette
(1980:33, 35), dapat bermakna ganda: di satu pihak menunjuk pada waktu
penceritaan, waktu penulisan cerita, dan dipihak lain menunjuk pada waktu dan
urutan waktu yang terjadi dalam sebuah karya fiksi. Pengangkatan unsur sejarah
dalan sebuah karya fiksi akan
menyebabkan waktu yang diceritakan menjadi khas, tipikal, dan dapat menjadi
sangat fungsional sehingga tidak dapat diganti dengan waktu yang lain tanpa
memengaruhi cerita yang lain.
Lama
Waktu Cerita. Masalah waktu dalam cerita fiksi juga
sering dihubungkan dengan lamanya waktu yang digunakan dalam cerita. Seperti
adanya novel yang membutuhkan waktu yang sangat panjang, dan novel yang
membutuhkan waktu yang pendek.
3.
Latar Sosial-Budaya
Latar
sosial-budaya menunjuk pada hal-hal yang bersangkutan dengan perilaku kehidupan
sosial masyarakat disuatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Bahasa
Daerah, Penamaan, dan Status Sosial. Latar sosial memang dapat
menggambarkan suasana keadaan, local
color, warna setempat daerah tertentu melalui kehidupan sosial-budaya
masyarakat. Disamping penggunaan bahasa daerah, masalah penamaan tokoh dalam banyak
hal ini juga berhubungan dengan latar sosial-budaya. Status sosial tokoh
merupakan salahsatu hal yang dapat perlu diperhitungkan dalam pemilihan latar.
Adabeberapa novel yang mengangkat konflik karena kesenjangan status sosial.
4.
Catatan Tentang Anakronisme
Anakronisme
menunjuk pada pengertian adanya ketidaksesuaian latar waktu dengan urutan waktu
dalam sebuah cerita. Faktor Kesenjangan. Dalam sebuah
karya sastra merupanakan tidak selamanya menjadi kelemahan ia hadir dalam
sebuah karya sastra karena disengaja bahkan didayagunakan kemanfaatannya sperti
mempermuidah pembaca untuk berimajinasi terhadap suatu karya dengan
menghadirkan sesuatu yang sudah dikenal pada masanya walaupun itu bersifat
anakronitis.
C.
HAL
LAIN TENTANG LATAR
1.
Latar Sebagai Metafotik
Penggunaan
istilah metaforik menunjuk pada suatu perbandingan yang bersifat keadaan,
suasana, ataupun sesuatu yang lain. Secra prinsip metafora merupakan cara
memandang sesuatu melalui sesuatu yang lain. Funsi pertama metafora adalah
menyampaikan pengertian dan pemahaman (Lakoff & Jhonson, 1980:36).
Novel
sebagai sebuah karya kreatif tentu saja kaya bentuk-bentuk ungkapan metafora,
khususnya sebagai sarana pendayagunaan unsur stile, sesuai dengan budaya bahasa
yang bersangkutan, dalam hal ini latar yang berfungsi sebagai metaforik. Unsur
latar dalam karya tertentu mendapatkan penekanan biasanya relatif banyak
gambaran detail yang berfungsi metaforik. Atau paling tidak dapat menafsirkan
demikian.
2.
Latar Sebagai Atmosfer
latar
dalam cerita merupakan “udara yang dihirup oleh pembaca dalam memasuki dunia
rekaan “. Ia merupakan deskripsi kondisi latar yang mampu menciptakan suasana
tertentu, misalnya suasana romatik, sedu, muram, sedih, dan sebagainya. Latar
yang memberikan atmosfer cerita biasanya latar penyesuaian. Tahap awal,
pengenalan.
Latar yang berfungsi sebagai metaforik walau
menunjuk pada pengertian dan funsi yang berbeda, pada kenyataannya erat
dikaitkan. Dalam diskripsi sebuah atar misalnya, terdapat diskripsi tertentu
yang bersifat metaforik. Atmosfer cerita adalah emosi yang dominan yang
merasukinya yang berfungsi mendukung elemen-elemen yang lain untuk memperoleh
efek yang mempersatukan (Altenberd & Lewis,1966:72)
BAB IX
SUDUT PANDANG
A.
SUDUT
PANDANG SEBAGAI UNSUR FIKSI
1.
HakikatSudut
Pandang
Sudut
pandang, point of view, view point, merupakan salah satu unsur fiksi yang oleh
Stanton digolongkan sebagai sarana cerita, literary device.Sudut haruslah
diperhitungkan kehadirannya, bentuknya, sebab pemilih sudut pandang akan berpengaruh
terhadap penyajian cerita. Sudut pandang dalam teks fiksi mempersoalkan: siapa
yang menceritakan, dariposisimana, peristiwa dan tindakan itu dilihat. Hakikat sudut
pandang menunjuk pada cara sebuah cerita dikisahkan. Namun kesemuanya itu dalam
cerita fiksi disalurkan lewat sudut pandang tokoh :
a.
Baldic
(2001:198), sudut pandang adalah posisi atau sudut mana yang
menguntungkan untuk menyampaikan kepada pembaca terhadap peristiwa dan cerita
yang diamati dan dikisahkan.
b.
Booth
( Stevick, 1967 : 89 ),susut pandang merupakan teknik yang
digunakan pengarang untuk menemukan dan menyampaikan makna karya artistiknya,
untuk dapat sampai dan berhubungan dengan pembaca.
2.
Pentingnya
Sudut Pandang
Sudut
pandang di dalam teks fiksi dianggap sebagai salah satu unsur fiksi yang
penting dan menentukan. Semua itu dimulai setelah Henry Jemes yang novelis sekaligus
esais Amerika itu menulis esai tentang sudut pandang secara menyakinkan dan esainya
diterbitkan denganjudul The Art Of Novel
( 1934 ).
Sudut
pandang menjadi penting karena hal itu tidak hanya berhubungan dengan masalah gaya
saja walau tidak dapat disangkal bahwa pemilihan bentuk-bentuk dramatika dan retorika
juga penting dan berpengaruh. Penggunaan sudut pandang dalam cerita fiksi memang
masalah pilihan artinya dengan sudut pandang pilihannya itu ia dapat bercerita dengan
baik dan lancar, dan lebih dari itu, semua gagasan dapat tersalurkan.
3.
PenekananSudut
Pandang
Penyimpangan
sudut pandang tidak hanya menyangkut masalah personal pertama atau ketiga melainkan
lebih berupa pemilihan siapa tokoh dia atau aku itu. Artinya pengarang tidak akan
melukiskan dan mengemukakan sesuatu yang secara realitas diluar jangkauan tokoh
yang bersangkutan.
B.
MACAM
SUDUT PANDANG
Friedman ( Stevick, 1967 : 118 ) mengemukakan
adanya sejumlah pertanyaan yang jawabnya dapat dipergunakan untuk membedakan sudut
pandang. Pertanyaan yang dimaksud: (1) Siapa yang berbicara kepada pembaca? (2)
Dari posisi mana cerita itu dikisahkan? (3) Saluran informasi apa yang
dipergunakan narator untuk menyampaikan ceritanya kepada pembaca? (4) Sejauh mana
narator menempatkan pembaca dari ceritanya?
1.
Sudut Pandang PersonaliaKetiga: “Dia”
“Dia”
narator adalah seorang yang berada diluar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita
yang menyebut nama atau kata ganti: ia, dia, mereka.
a.
“Dia” Mahatau
Sudut
pandang persona ketiga maha tau dalam literatur bahasa inggris di kenal dengan istilah-istilah
the omniscient point of view,
third-person omniscient, the omniscient narrator, atauauthor omniscient.
b.
“Dia” Terbatas, “Dia” sebagai pengamat
Dalam
sudut pandang “dia” terbatas, seperti halnya dalam “dia” maha tau, pengarang melukiskan
apa yang dilihat, didengar, di alami, dipikir dan dirasakan oleh tokoh cerita,
namun terbatas hanya seorang satu tokoh saja
2.
Sudut Pandang Persona Pertama: “Aku”
First-person point of view, “aku”
,jadi : gaya “aku”, narrator adalah seseorang terlibat ikut dalam cerita.
a.
“aku” Tokoh Utama
Dalam
sudut pandang tehnik ini, si “aku” mengisahkan berbagai peristiwa dan tingkah laku
yang dialaminya, baik yang bersifat batiniah, dalam diri sendiri, maupun fisik,
hubunganya dengan sesuatu yang diluar dirinya.Tehnik “aku” dapat dipergunakan untuk
melukiskan serta membeberkan berbgai pengalaman kehidupan manusia yang paling
dalam dan rahasia sekali pun.
b.
“aku” tokoh tambahan
Dalam
sudut pandang ini tokoh “aku” muncul bukan sebagai tokoh utama, melainkan sebagai
tokoh tambahan, first-person peri-pheral.
3.
Sudut Pandang Persona Kedua: “kau”
Dalam
berbagai buku teori fiksi jarang ditemukan pembicaraan tentang sudut pandang
persona kedua atau gaya. Penggunaan tehnik “kau” biasanya di pakai “mengorang lainkan”
diri sendiri, melihat diri sendiri sebagai orang lain.
4.
Sudut Pandang Campuran
Pengarang
dapat berganti-ganti dari tehnik yang satu ketehnik yang lain untuk sebuah cerita
yang dituliskanya. Pemanfaatan tehnik-tehnik tersebut dalam sebuah novel
misalnya, dilakukan dengan mempertimbangkan kelebihan dan keterbatasan masing-masing
tehnik.
Campuran “aku” dan “dia”. Penggunakan
sudut pandang campuran antara persona pertama dan ketiga, “aku” dan “dia”,
secara bergantian dapat kita jumpai dalam bebrapa novel Indonesia. Penggunakan kedua
sudut pandang tersebut dalam sebuah novel terjadi karena pengarang ingin memberikan
cerita secara lebih banyak kepada pembaca.
BAB X
BAHASA
A.
BAHASA
SEBAGAI UNSUR FIKSI
Teks
fiksiatau secara umum teks kasastraan, di samping sering disebut sebagai dunia
dalam kemungkinan, juga dikatakan sebagai dunia dalam kata. Hal disebabkan
“dunia” yang diciptakan, dibangun, ditawarkan, diabstraksikan, dan sekaligus
ditafsirkan lewat kata-kata, lewat bahasa. Struktur fiksi dan segala sesuatu
yang dikomunikasikan senantiasa dikontrol langsung oleh manipulasi bahasa
pengarang (Fowler, 1977:3).
1.
Bahasa Sastra: Sebuah Fenomena
Beberapa
karakteristik bahasa sastra yang dikemukakan beberapa orang berikut akan
sedikit disinggung. Bahasa sastra munkin dicirikan sebagai bahasa (yang menggandung unsur) emotif dan bersifat konotatif sebagai kebalikan
bahasa nonsastra, khususnya bahasa ilmiah, yang rasional dan denotatif. Namun,
untuk pencirian itu tampaknya masih memerlukan penjelasan (Wellek dan Warren,
1999:15). Kaum Formalitas Rusia beranggapan bahwa bahasa sastra adalah bahasa
yang mempunyai ciri deotomatisasi, penyimpangan dari cara-cara penuturan yang
bersifat otomatif, rutin, biasa, dan wajar. Sastra mengutamakan keaslian
pengucapan, dan untuk memperoleh cara itu mungkin sampai pada penggunaan
berbagai bentuk penyimpangan, deviasi (deviation) kebahasaan. Kaum Formalitas
Rusia berpendapat bahwa aanya penyimpangan dari sesuatu yang wajar merupakan
proses sastra yang mendasar (Teew, 1988:131). Penggunaan bahasa konotatif merupakan salah satu bentuk merupakan
karakteristik khas bahasa sastra sebab dalam oenuturan nonsastra pun banyak
dipergunakan.
Bahasa
adalah sebuah sistem tanda yang bersangkutan akan berakibat tidak dapat
dipahaminya karya yang bersangkutan akan berakibat tidak dapat dipahaminya
karya yang bersangkutan, terhadap sesuatu yang akan dikomunikasikan. Fungsi
komunikatif bahasa hanya akan efektif jika sebah penuturan masih tunduk dan
“memanfaatkan” knvensi bahasa itu betapapun kadarnya. Makna dalam sastra pada
umumnya memang bkan makna pertama seperti yang dikonvensikan bahasa, melainkan
lebih bersifat second-order semiotic
system (culler, 1977:14), lebih
menyarankan pada sistem makna tingkat kedua. Pembedaan itu lebih ditentukan
oleh konvensi (konvensi kesastraan), konteks, dan bahkan harapan pembaca. Hal
itu berarti sebenarnya hal-hal tersebutlah yang mencirikan apakah sebuah ( penuturan
) bahasa dapat digolongkan ke dalam sastra atau bukan. Pratt (Teeuw,
1988:82-83) menemukakan bahwa masalah kelitereran (literariness) tidak
ditentukan oleh ciri khas pemakaian bahasa, melainkan oleh ciri khas situasi
pemakaian bahasa tersebut.
2.
Stile dan stillistika
a.
Stile dan hakikat stile
Stile
pada hakikatnya merupakan teknik, yaitu teknik pemilihan ungkapan kebahasaan
yang dapat mewakili sesuatu yang akan diungkapkan dan sekaligus untuk mencapai
efek keindahan. Kata kunci untuk
istilah stile adalah pilihan. Sebuah stile adalah
sebuah pilihan bentuk berbagai aspek kebahasaan. Artinya harus ada
bentuk-bentuk yang dipilih, dan dari sekian bentuk yang ada, pilihan yang
terpilih adalah bentuk yang terbaik. Terbaik dalam arti bentuk yang terpilih
itu dapat mencapai dua tujuan sekaligus: tepat secara bentuk dan karena
memenuhi tuntutan kendahan, dan tepat secara makna dalam arti bentuk itu mampu
mewakili gagasan yang ingin dikomunikasikan.
b.
Stalistika dan hakikat stilistika
Tujuan
analisis stilistika kesastraan, misalnya dapat dilakukan dengan (mengajukan dan
) menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: “mengapa pengarang dalam
mengekspresikan dirinya justru memilih cara khusus””?,”bagaimanakah efek
estetis yang demikian dapat dicapai melalui bahasa?. Kajian stilitika juga
dimaksudkan untuk menunjukkan hubungan apresiasi estetik (perhatian kritikus)
di satu pihak dengan deskrepsi linguistik (perhatian linguis) di pihak lain.
Pernyataan adalah, stilitika itu bagian dari seni atau linguistik? Ketika
kajian dimaksugkan untu menemukan dan atau menjelaskan fungsi estetika
bentuk-bentuk linguistik, kerja itu merupakan bagian dari seni.
3.
Stile dan Nada
Nada
(tone), nada pengarang (authorial tone), dalam pengertian yang luas, dapat dartikan
sebagai pendirian atau sikap yang diambil pengarang (tersirat, implied authar)
terhadap pembaca dan terhadap (sebagian) masalah yang dikemukakan (Leech dan
Short, 2007:225). Sebelumnya, Kenny (1966:69) juga telah mengemukakan bahwa
nada merupakan eksprei sikap, sikap pengarang terhadap masalah yang dikemukakan
dan terhadap pembaca. Nada memang ada hubungannya dengan intonasi, lagu dan
tekanan kalimat, walau dalam bahasa tulis sekalipun.
B.
UNSUR
STILE
Kajian
stile sebuah fiksi biasanya dilakuan dengan menganalisis unsur-unsurnya,
khususnya untuk mengetahui kontribusi masing-masing unsur untuk mencapai efek
estetis da unsur apa saja yang dominan. Abrams (1999:303) mengemukakan bahwa
unsur stile (yang disebut dengan istilah stylistics
features) terdiri dari unsur fonologi, sintaksis,leksikal, retirika
(rhetorical, yang berupa karakteristik penggunaan bahasa figuratif, citraan,
dan sebagainya). Pembicaraan unsur stile berikut dilakukan dengan menggabungkan
antara pembagian unsur menurut Abrams (1999), Leech dan Short (207) tersebut,
namun unsur fonologis (dari Abrams) sengaja tidak dibicarakan karena unsur itu
kurang begitu penting kontribusinya dalam stilistika fiksi (lebih penting untuk
stilistika puisi).
1.
Unsur leksikal
Unsur
leksikal yang dimaksud sama pengertian dengan diksi, yaitu yang mengacu pada
pengertian penggunaan kata-kata tertentu yang sengaja dipilih oleh pengarang
untuk mencapai tujuan tertentu. Pilihan kata juga berhubungan dengan masalah
sintagmatik dan paradigmatik. Hubungan sintagmatik berkaitan dengan hubungan
antar kata secara liniar untuk membentuk sebuah kalimat. Bentuk-bentuk kalimat
yang diinginkan dan disusun, misalnya sederhana, lazim, unik, atau lain dari
yang lain, dalam banyak hal akan memengaruhi kata, khususnya bentuk kata. Hubungan
paragdigmatikberkaitan dengan pilihan kata di antara sejumlah kata yang
berhubungan secara makna.
2.
Unsur Gramatikal
Unsur
gramatikal yang dimaksud menunjuk pada pengertian struktur kallmat. Dalam
kegiatan komunikasi berbahasa, juga jika dilihat dari kepentingan stile,
kalimat lebi penting dan bermakna daripada sekedar kata walau pendayaan kalimat
dalam banyak hal juga dipengaruhi oelh ilihan katanya. Untuk menjadi sebuah
kalimat yang bermakna, hubungan sintaksis kata-kata tersebut harus gramatikal, sesuai
dengan sistem kaidah yang berlaku dalam bahasa yang bersangkutan. Ada tidaknya
penyipangan struktur kalimat merupakan salah satu unsur yang dapat dikaji jika
kita bermaksud menganalisis unsur gramatikal. Selain dicacah untuk dihitung
frekuensi pemunculan dan presentase, wujud penyimpangan harus pula dicatat.
Selain berdasarkan bentuk-bentuk penyimpangan di atas, kegiatan analisis
kalimat juga dapat di lakukan terhadap hal-hal atau dengan cara-cara berikut :
a.
Kompleksitas kalimat
b.
Jenis kalimat
c.
Jenis klausa dan frase
3.
Retorika
Adanya
unsur kekhasan, ketepatan, dan kebaruan pemilihan bentuk-bentuk pengungkapan
yang kesemuanya itu sangat ditentukan oleh kemampuan imajinasi dan kreativitas
pengarang dalam menyiasati gagasan dan
bahasa akan menentukan keefektifan wacana yang dihasilkan. Unsur stile yang
berjudul sarana retorika itu, sebagaimana dikemukakan Abrams (1999) di atas,
melipiuti penggunaan bahasa figuratif (figuratif language) dan citraan (imagery).
Pebedaaan
bahasa figuratif tersebut terlihat sejalan dengan pembagian keraf
(1981:106-128) yang membedakan gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna.
Yang prtama dibedakan ke dalam dua golongan, yaitu struktur kalimat dan gaya
bahasa, masing-masing dengan macamnya, sedang yang kedua dibedakan ke dalam
gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan, masing-masing juga dengan macamnya.
a.
Pemajasan
Pemajasan
merupakan teknik pwngungkapan bahasa, penggayabahasaan, yang maknanya tidak
menuju pada makna harfiah kata-kata yang mendukungnya, melainkan pada makna
yang ditambahkan atau makna yang tersirat.
Gorys Keraf (1981) membedakan gaya bahasa berdasarkan kangsung tidaknya
makna kedalam dua kelompok, yaitu gaya bahasa retoris dan kiasan. Gaya restoris
adalah gaya bahasa yang maknanya harus diartikan menurut nilai lahirnya. Gaya
yang dipergunakan adalah bahasa yang mengandung unsur kelangsungan mana.
Sebaliknya, gaya bahasa kiasan adalaah gaya bahasa yang maknanya tidak dapat
ditafsirkan sesuai sesuai dengan makna kata-kata yang membentuk. Majas memiliki
bermacam jenis yang jumlahnya relatif banyak seperti : majas Perbandingan,
simile, Metafora, Personifikasi, Majas Pengontrasan, Majas Hiperbola, Majas
Litotes, Majas Pertanian, Majas Sinekdoke.
b.
Penyiasatan Struktur
Repetisi
merupakan bentuk penyiasatan struktur dengan pengulangan kata-kata atau frase
tertentu dengan maksud untuk menekankan sesuatu yang dituturkan. Bentuk ini
banyak ditemukan dalam berbagai teks fiksi dan mudah dikenali. Bentuk-bentuk
yang lain menjadi penyesiasatan struktural misalnya antitesis, alirasi,
klimaks, antiklimaks, dan pernyataan retoris.
c.
Citraan
Dalam
dunia kesastraan dikenal adanya stilah citra (image) dan citraan (imagery) yang
keduanya menunjuk pada adanya reproduksi mental. Citra merupakan sebuah
gambaran berbagai pengalaman sensoris yang dibangkitkan oleh kata-kata. Macam citraan itu sendiri meliputi kelima
jenis indra manusia, yaitu citraan penglihatan (visual), pendengaran
(auditoris), gerak (kinestetik), rubaan (taktil termal), dan penciuman
(olfaktori), namun pemanfaatannya dalam sebuah kayra tidak sama indentitasnya.
Citraan merupakan suatu gaya penuturan yang banyak dimanfaatkan dalam penulisan
sastra. Ia dapat dipergunakan untuk mengonkretkan pengungkapan gagasan-gagsan
yang sebenarnya abstrak melalui kata-kata dan ungkapkan yang mudah
membangkitkan tanggapan imajinatif. Analisis citraan terhadap sebuah karya
fiksi dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mirip dengan
pertanyan-pertanyan yang diajukan pada gaya pemajasan.
d.
Kohesi
Bagian-bagian
dalam sebuah kalimat, atau antar kalimat dalam dalam sebuah alinea, yang
masing-masing mengandung gagasan, tidak mungkn disusun secara acak. Antarunsur
tersebut secara alami dihubungkan oleh unsur makna, unsur semantik. Untuk
mengungkapkan sebuah gagasan yang utuh, tip bagian kalimat atau tiap alinea
yang dimaksud untuk mendukung gagasan itu, haruslah dihubungkan satu dengan
yang lain, baik secara eksplisit, implisit, maupun keduany secara bersamaan
atau bergantian. Hubungan antarunsur sebuah teks pada hakikatnya merupakan
hubungan makna dan referensi, namun biasanya orang lebih melihatnya dari segi
sarana formal sebagai penanda hubungannnya. Penanda kohesi yang berupa
sambungan dalam bahasa indonesia ada banyak sekali dan berbeda-beda fungsinya.
Penanda itu mungkin berfungsi menghubungkan bagian dalam kalimat, antar kalimat
dalam alinea, atau bahkan antarlinea.
C.
PERCAKAPAN
DALAM NOVEL
1.
Narasi dan Dialog
Pengungkapan
bahasa dengan gaya narasi dalam hal ini yang saya maksudkan adalah semua yang bukan
bentuk percakapan sering dapat menyampaikan sesuatu secara lebih singkat dan
langsung. Dialog yang baik dalam sebuah cerita novel sebenarnya tidak sekadar
berkaitan dengan variasi penuturan narasi-dialog saja. Hal itu memang penting.
Namun, dialog-dialog yang dihadirkan akan menjadi lebih penting dn berdaya jika
sekaligus difungsikan sebagai pendukung pengembangan plot dan karakter tokoh.
Sebagai pendukung plot jika dialog yang dihadirkan itu sekaligus menunjkkan
kelanjutan cerita walau hanya secara implisit.
2.
Unsur Pragmatik dalam Percakapan
Pecakapan
yang hidup dan wajar, walau hal itu terdapat dalam sebuah novel, adalah
percakapan yang sesuai dengan konteks pemakainnya, percakapan yang mirip dengan
situasi nyatapenggunaan bahasa. Bentuk percakapan yang demiian bersifat
pragmatik. Untuk meahami sebuah percakapan yang memiliki konteks tertentu, kita
dapat hanya mengandalkan pengetahuan tentang leksika dan sintaksis saja,
melainkan harus pula disertai dengan interpretasi pragmatik. Novel dapat
menghadirkan konteks situasi yang bermacam=macam: resmi, formal, serius,
santai, akrab, atau yang lain. Percakapan yang menyertai situasi-situasi
tersebut haruslah menyesuaikan.
3.
Tindak Ujar
Salah
satu hal yang penting dlam interpretasi percakapan secara pragmatik, konsep
yang menghubungkan antara makna pecakapan dan konteks, adalh konsep tindak
ujar, sebuah konsep yang dikembangkan oleh Austin (1962) dan Searle (1969).
Konsep tersebut berangkat dari adanya kenyataan bahwa ketika seseorang
mengucapkan kalimat-kalimat dalam sebuah dialog yang dilakukan umunya disertai
oleh adanya perform acts yang berbeda-beda. Austin membedakan penampilan tindak
ujar ke dalam tiga macam tindak, yaitu lokusi, ilokusi, perlokusi. Tindak
lokusi adalah suatu bentuk ujaran yang mengandung makna adanya hubungan antar
subjek dan predikat, pokok dan sebutan, atau antara topik dan penjelasan.
Misalnya “aku akan memainkan buny gendang “. Tindak ujar ilokusi merupakan
bentuk-bentuk ujaran yang dibedakan berdasarkan intonasi kalimat. Dalam konteks
ketatabahasaan, kita kenal adanya intonasi kalimat berota atau pernyataan,
tanya, perintah, permononan, atau intonasi kalimat lain. Tindak bahasa
perlokusi melihat pada adanya suatu bentuk pengucapan yang menunjuk pada makna
yang lebih dalam yng tersembunyi di balik ucapan itu sendiri. Makna itu sendiri
tidak langsung diucapkan lewat percakapan, namun dapat ditafsirkan lewat
konteks percakapan yang bersangkutan. Tindak perlokusi menunjuk pada
penafsiran makna yang tersirat dari pada
yang tersurat, makna yang dimaksud oleh pengarang sekaligus memiliki kesamaan
konsep dengan imlikatur ke atas.
BAB XI
MORAL
A.
UNSUR
MORAL DALAM FIKSI
1.
Hakikat Moral
Secara
umum moral menunjuk pada pengertian (ajaran tentang) baik buruk yang diterima
umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; akhlak, budi
pekerti, susila. Istilah “bermoral”, misalnya tokoh bermoral tinggi, berarti
mempunyai pertimbangan baik dan buruk yang terjaga dengan penuh kesadaran.
Adakalanya moral diidentikkan pengertiannya dengan tema walau sebenarnya tidak
selalu menyaran pada maksud yang sama. Keduanya merupakan sesuatu yang dapat
dipandang sebagai memiliki kemiripan.
Kenny
(1966:89) mengemukakan bahwa moral dalam karya sastra biasanya dimaksudkan
sebagai suatu saran yang berhubungan dengan ajaran moral tertentu yang bersifat
praktis, yang dapat diambil (dan ditafsirkan), lewat cerita yang bersangkutan
oleh pembaca. Ia merupakan “petunjuk” yang sengaja diberikan oleh pengarang
tentang berbagai hal yang berhubungan dengan masalah kehidupan, seperti sikap,
tingkah laku, dan sopan santun pergaulan. Ia bersifat praktis sebab “petunjuk”
nyata, sebagaimana model yang ditampilkan dalam cerita itu lewat sikap dan
tingkah laku tokoh-tokohnya.
Jadi,
pada intinya moral merupakan representasi ideologi pengarang. Cerita fiksi
menawarkan pesan moral yang berhubungan dengan sifat-sifat luhur kemanusiaan,
memperjuangkan hak dan martabat manusia. Sifat-sifat kemanusiaan tersebut pada
hakikatnya bersifat universal. Sebuah cerita fiksi yang menawarkan pesan moral,
biasanya akan diterima kebenarannya secara universal pula dan memungkinkan
untuk menjadi sebuah karya yang bersifat sublim. Pesan moral sastra lebih
memfokuskan pada sifat kodrati manusia yang hakiki bukan pada aturan-aturan
yang dibuat, ditentukan, dan bertentangan dengan ajaran agama (Mangunwijaya,
1982) seperti yang terlihat pada penyelesaian pasangan Masri-ani tetap bahagia
sebagai suami istri walau keduanya kakak beradik lain ibu pada cerpen “Datangnya dan Perginya” (Nasyah
Jamin). Namun, pesan moral sastra tidak harus sejalan dengan hukuman agama
sebab sastra memang bukan agama, walau tidak dapat disangkal terdapat banyak
sekali fiksi yang menawarkan pesan moral keagamaan atau religius.
2.
Sastra dan Pembentukan Karakter
Berbagai
teks kesastraan diyakini mengandung unsur moral dan nilai-nilai yang dapat
dijadikan “bahan baku” pendidikan dan pembentukan karakter. Teks-teks
kesastraan diyakini mengandung suatu “ajaran” karena tidak mungkin seorang
pengarang menulis tanpa pesan moral (messages).
Pernyataaan Horatius bahwa sastra bersifat sweet
anduseful di atas pada hakikatnya menunjukkan bahwa sastra berfungsi
pragmatis bagi kehidupan sosial masyarakat. Karya sastra dapat tampil dengan
menawarkan alternatif model kehidupan yang diidealkan yang mencangkup berbagai
aspek kehidupan seperti cara berpikir, bersikap, berasa, bertindak, cara
memandang dan memperlakukan sesuatu, berperilaku, dan lain-lain. Sastra
dipersepsi sebagai suatu fakta sosial yang menyimpan pesan yang mampu
menggerakkan emosi pembaca untuk bersikap atau berbuat sesuatu.
Karakter
adalah jatidiri, kepribadian, dan watak yang melekat pada diri seseorang yang
berkaitan dengan dimensi psikis dan fisik. Dalam karakter terdapat tiga
komponen, yaitu pengetahuan tentang
moral (moral knowing), perasaan tentang moral (moral feeling), dan perbuatan moral (moral action).
Ketiga komponen tersebut saling berkaitan satu dengan yang lain untuk membentuk
sebuah kesatuan yang padu yang berwujud seseorang yang memiliki karakter yang
baik.
3.
Jenis dan Wujud Pesan Moral
Mencangkupseluruh
persoalan hidup dan kehidupan manusia itu dapat dibedakan ke dalam persoalan hubungan manusia dengan diri
sendiri, hubungan manusia denganmanusia lain dalam lingkup sosial dan
lingkungan alam, dan hubungan
manusia dengan Tuhannya. Sebuah novel tentu saja dapat mengandung dan
menawarkan pesan moral itu salah satu, dua, atau ketiganya sekaligus,
masing-masing dengan wujud detail khususnya. Artinya, bahkan dalam satu
hubungan pun dapat ditemukan adanya pesan tertentu yang lebih diutamakan
daripada yang lain. Tidak berbeda halnya dengan adanya beberapa tema dalam
sebuah novel yang terdiri atas tema utama (mayor) dan tema-tama tambahan
(minor), pesan moral pun dapat digolongkan ke dalam pesan utama dan yang pesan
sampingan. Pesan-pesan sampingan secara bersama mendukung dan menguatkan
eksistensi pesan utama.
B.
PESAN
RELIGIUS DAN KRITIK SOSIAL
1.
Pesan Religius dan Keagamaan
Kehadiran
unsur religius dan keagamaan dalam sastra adalah suatu keberadaan sastra itu
sendiri. Bahkan, sastra tumbuh dari sesuatu yang bersifat religius. Pada awal
mula segala sastra adalah religius (Mangunwijaya, 1982:11). Istilah “religius”
membawa konotasi pada makna agama. Religius dan agama memang erat berkaitan,
berdampingan bahkan dapat melebur dala kesatuan, namun sebenarnya keduanya
menunjuk pada makna yang berbeda. Agama lebih menunjuk pada kelembagaan
kebaktia kepada Tuhan debgan hukum-hukum yang resmi. Religiositas, di pihak
lain, melihat aspek yang di lubuk hati, riak getaran nurani pribadi, totalitas
kedalaman pribadi manusia.
Agama sebagai Keyakinan penuh
Tokoh. Novel Di Nawa
Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya
Kapal Van Der Wicjk (Hamka) tampaknya merupak dua cerita fiksi Indonesia
modern mula yang mulai memasukkan unsur agama (Islam) dalam sastra. Namun agama
di ssana adalah agama sebagai keyakinan penuh para tokoh cerita, bukan
(syariat) agama yang dipermasalahkan. Dengan kata lain unsur agama itu sendiri
tidak begitu berpengaruh pada konflik cerita. Konflik ceritanya sendiri masih
berkisar pada adanya ketidakbebasan memilih jodoh, ada pihak yang memaksakan
kehendak kepada pihak lain yang menyebabkan pihak itu menderita. Para penganut
Islam pun ternyata masih terkecoh atau lebih melihat sesuat yang bersifat
lahiriah.
2.
Pesan Kritik Sosial
Wujud
kehidupan sosial yang dikritik dapat bermacam-macam seluas lingkup kehidupan
sosial itu sendiri. Banyak karya sastra tinggi yang di dalamnya mengandung unsur
pesan kritik sosial. Wujud-wujud kritik sosia novel-novel angkatan Balai
Pustaka misalnya, lebih banyak berkaitan dengan adat-istiadatdan dominasi
golongan tua yang “tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan”. Itu terutama
terlihat dalam hal mengatur dan menentukan jodoh untuk anak-anak muda. Masalah
itu memang aktual pada waktu itu, namun
tidak lagi untuk masa sekarang. Ada berbagai aspek kehidupan sosial yang lebih
menarik, aktual, dan relevan untuk diceritakan dan diamanatkan sesuai dengan
derap kehidupan modern, dan bukan sekedar masalah jodoh saja. Namun demikian,
sebenarnya terdapat berbagai aspek kehidupan sosial yang hakiki, dan itu
bersifat langgeng dan universal, tidak hanya berlaku dan tidak terikat oleh
batas waktu dan tempat.
C.
BENTUK
PENYAMPAIAN PESAN MORAL
Dari
sisi tertentu cerita fiksi dapat dipandang sebagai bentuk manifestasi keinginan
pengarang untuk mendialog, menawar, dan menyampaikan sesuatu. Sesuatu itu
mungkin berupa pandangan tentang suatu hal, gagasan, moral, atau amanat. Karya
sastra pun dapat dipandang sebagai sarana komunikasi.
1.
Bentuk Penyampaian Pesan Langsung
Bentuk
penyampaian pesan moral yang langsung, boleh dikatakan identik dengan cara
pelukisan watak tokoh yang bersifat uraian,
telling, atau penjelasan, expository.
Jika dalam uraian pengarang secara langsung mendesjripsikan perwatakan tokoh
cerita yang bersifat “memberi tau” pembaca untuk memahaminya, hal yang demikian
juga terjadi dalam penyampaian pesan moral. Artinya, moral yang ingin
disampaikan atau diajarkan kepada pembaca itu dilakukan secara langsung dan
eksplisit.pengarang dalam hal ini tampak menggurui pembaca, secara langsung memberikan nasihat
dan petuahnya.
2.
Bentuk Penyampaian Pesan tidak Langsung
Jika
dibandingka dengan bentuk sebelumnya, bentuk penyampaian pesan moral di sini
tidak langsung. Pesan tu hanya tersirat dalam cerita, berpadu secara koherensif
dengan unsur-unsur cerita yang lain. Walau betul pengarang ingin menawarkan dan
menyampaikan sesuatu, ia tidak melakukannya secara serta-merta dan vulgar karena
ia sadar telah memilih jalur cerita. Salah satu sifat khas karya sastra adalah
berusaha mengungkapkan sesuatu secara tidak langsung sebagaimana dikemukakan
Riffaterre (1980) bahwa sastra (puisi) mengemukakan A dengan cara B.
Kajian
aspek moral dalam sastra, fiksi pada khususnya, banyak dilakukan untuk
keperluan pembelajaran sastra di sekolah, yaitu dalam rangka pemilihan bahan
ajar yang sesuai. Secara faktual jumlah karya sastra dalam berbagai genre amat
banyak, namun belum tentu semuanya sesuai dengan kebutuhan peserta didik,
khususnya yang terkait dengan muatan makna. Muatan makna yang baik untuk
dibelajarkan adalah yang megandung unsur moral yang sesuai dengan perkembangan
kognitif peserta didik atau yang menjadi fokus yang kini menjadi perhatian penuh
berbagai pihak, tidak sekadar lagi sebagai wacana, untuk dilaksanakan di
sekolah lewat berbagai mata pelajaran. Karya sastra dipandang sebagai salah
satu sarana yang strategis untuk mencapai tujuan tersebut karena sastra
mengandung dan menawarkan model-model kehidupan yang diidealkan serta sekaligus
merupakan budaya dalam tindak yang semuanya disampaikan dengan cara-cara yang
menyenangkan.
No comments:
Post a Comment