NAMA :ILHAM LAZIMI
NIM/KELAS : A310130170/2D
Depan
Belakang
Judul buku : Sistem Sosial Indonesia
Penulis : Dr. Nasikun
Penerbit :PT Raja Grafindo Persada
Tahun :2010
Sistem
Sosial Indonesia
A. Pendekatan
Teoritis
Ada
dua macam pendekatan yang paling populer di antara pendekatan yang lain. Salah
satunya adalah sebuah pendekatan yang menjadi amat berpengaruh dikalangan para
ahli sosiologi. Fungsionalisme struktural sekali tumbuh dari cara melihat
masyarakat yang menganalogikan masyarakat dengan organisme biologis
Suatu
sistem sosial, pada dasarnya, tidak lain adalah suatu sistem dari pada
tindakan-tindakan. Pengaturan interaksi sosial di antara para anggota
masyarakat tersebut dapat terjadi karena commitment
mereka terhadap norma-norma sosial menghasilkan daya untuk mengatasi
perbedaan – perbedaan pendapat dan kepentingan di antara mereka.
Parsons
dan para pengikutnya telah berhasil membawa pendekatan fungsionalisme
struktural ke tingkat perkembangannya yang sangat berpengaruh di dalam
pertumbuhan teori-teori sosiologi saat ini. Setiap tiap sistem sosial memiliki
kecenderungan untuk mencapai stabilitas di atas konsensus para anggota
masyarakat akan nilai-nilai umum tertentu.
Conflic approach kita
bedakan atas dua macam pendekatan yang lebih kecil, yaitu structuralist-Marxist
dan structuralist-non-Marxist. Perubahan
sosial, oleh para penganut pendekatan konflik tidak saja dipandang sebagai
gejala yang melekat di dalam kehidupan setiap masyaraka, akan tetapi lebih dari
pada itu malahan dianggap “bersumber” di dalam faktor-faktor yang ada di dalam
masyarakat itu sendiri, suatu hal yang kurang diperhatikan oleh para penganut
pendekatan fungsionalisme struktural.
Kelompok
semu tidak memiliki struktur hubungan-hubungan sosial yang didasari, akan
tetapi para anggotanya memiliki kepentingan-kepentingan dan mode-mode tingkah
laku yang sama, yang setiap saat dapat berkembang menjadi kelompok dalam artian
yang sebenarnya berupa apa yang biasa disebut sebagai kelompok kepentingan.
Kelompok semu tidaklah dengan sendirinya atau begitu saja menjelma menjadi
kelompok kepentingan.
Di
luar kondisi-kondisi teknis dan kondisi-kondisi politis masih dibutuhkan
prasyarat lain agar adanya para pemimpin, ideologi, dan kebebasan berorganisasi
benar-benar mengakibatkan munculnya kelompok kepentingan. Kondisi tersebut
yaitu kondisi-kondisi teknis, kondisi-kondisi politis, dan sosial. Kelompok
tersebut berakar di dalam kepentingan-kepentingan yang saling berlawanan satu
sama lain, maka kelompok-kelompok kepentingan itupun akan senantiasa berada di
dalam situasi konflik pula.
Bentuk
pengendalian konflik-konflik sosial yang pertama yang paling penting adalah apa
yang disebut konsiliasi, yang terwujud melalui lembaga-lembaga tertentu yang
memungkinkan tumbuhnya pola diskusi dan pengambilan keputusan-keputusan di
antara pihak-pihak yang berlawanan.
B. Struktur Majemuk
Masyarakat Indonesia
Pandangan para penganut
pendekatan konflik tersebut bukan tidak mengandung kelemahan-kelemahan, akan
tetapi jelas bahwa pandangan tersebut menutup kelemahan-kelemahan yang kita
jumpai pada pandangan para penganut pendekatan fungsional struktural. Secara
horizontal, struktur masyarakat Indonesia di tandai oleh kenyataan adanya
kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan-perbedaan suku-bangsa, perbedaan
agama, adat serta perbedaan kedaerahan.
Masyarakat Indonesia
pada masa Hindia-Belanda, demikian menurut furnivall, merupakan suatu
masyarakat majemuk, yakni suatu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih
elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain di dalam
suatu kesatuan politik. Di dalam kehidupan politik, pertanda paling jelas dari
masyarakat indonesia yang bersifat majemuk itu adalah tidak adanya kehendak
bersama.
Di dalam kehidupan
ekonomi, tidak adanya kehendak bersama tersebut menemukan pernyataannya di
dalam bentuk tidak adanya permintaan sosial yang dihayati bersama oleh seluruh
elemen masyarakat. Hal itu menjadi sumber yang membedakan karakter ekonomi
majemuk dari suatu masyarakat majemuk, dengan ekonomi tunggal dari suatu
masyarakat yang bersifat homogeneous.
Keadaan masyarakat
indonesia pada masa kini sudah jauh berbeda dari keadaan tersebut. Dengan
mengabaikan perwujudannya yang konkret, kita dapat menangkap esensi dari
konsepsi Furnivall yang terlepas dari ruang dan waktu. Konsepsi Furnivall yaitu
suatu masyarakat dimana sistem nilai yang dianut oleh berbagai kesatuan sosial
yang menjadi bagian-bagiannya adalah sedemikian rupa, sehingga para anggota
masyarakat kurang memiliki loyalitas terhadap masyarakat sebagai keseluruhan.
Tentang berapa jumlah
suku bangsa yang sebenarnya ada di Indonesia, terdapat berbagai pendapat yang
tidak sama. Hidred Geertz, menyebutkan adanya lebih dari 300 suku bangsa di
Indonesia, masing-masing dengan bahasa dan identitas kultural yang
berbeda-beda. Skinner menyebutkan adanya lebih dari 35 suku bangsa di
Indonesia, masing-masing dengan bahasa dan adat yang tidak sama.
Mengikuti pengertian
suku bangsa sebagaimana tersebut digolongkan orang-orang tionghoa sebagai salah
satu suku bangsa di antara berbagai suku bangsa di Indonesia. Pengaruh yang
menyentuh pertama kali masyarakat Indonesia berupa pengaruh kebudayaan Hindu
dan Budha dari India sejak 400 tahun sesudah masehi. Pada waktu itu tersebar
meliputi daerah yang cukup luas di Indonesia, serta lebur bersama-sama dengan
kebudayaan asli yang telah hidup lebih dahulu sebelum itu.
Pengaruh kebudayaan
Islam mulai memasuki masyarakat Indonesia sejak abad ke 13, akan tetapi baru
benar-benar mengalami proses penyebaran yang meluas sepanjang abad ke 15.
Pengaruh kebudayaan barat mulai memasuki masyarakat Indonesia melalui
kedatangan bangsa Portugis pada permulaan abad ke 16. Hasil pengaruh kebudayaan
tersebut kita jumpai dalam bentuk pluaritas agama di dalam masyarakat
Indonesia.
Iklim yang berbeda-beda
dan struktur tanah yang tidak sama di antara berbagai daerah di kepulauan
Nusantara ini, merupakan faktor yang menciptakan pluralitas regional di
Indonesia. Data penyebaran penduduk pada tahun 1930 dan 1961 memperlihatkan
kontras yang pertama. Tahun 1930, bahwa pulau Jawa dan Madura yang hanya
memiliki luas daerah yang kurang dari 7% luas seluruh Indonesia, memiliki
jumlah penduduk hampir 70% dari jumlah seluruh penduduk di Indonesia.
Proses tumbuhnya
ketimpangan yang demikian mempunyai akarnya di dalam struktur ekonomi di
Indonesia pada zaman Hindia-Belanda, yang oleh Boeke digambarkan sebagai dual
economy. Di dalam struktur ekonomi yang demikian berupa struktur ekonomi modern
yang secara komersial bersifat canggih, banyak bersentuhan dengan lalu lintas
perdagangan internasional.
Struktur tersebut
berakar di dalam keseluruhan struktur masyarakat Indonesia yang mengandung
perbedaan yang tajam antara struktur masyarakat kota yang bersifat modern,
dengan struktur masyarakat pedesaan yang bersifat tradisional. Kebayakan
Negara-negara yang sedang berkembang, ditandai oleh adanya “Gap” di dalam
hampir semua aspek kehidupan. Pola stratifikasi sosial didasarkan ukuran
luasnya pemilikan tanah di daerah-daerah.
C. Struktur Kepartaian
sebagai Perwujudan Struktur Sosial Masyarakat Indonesia
Perbedaan suku bangsa,
agama, regional, dan pelapisan sosial tersebut secara analitis memang dapat
dibicarakan sendiri-sendiri, tapi kenyataannya jalin-menjalin menjadi suatu
kebulatan yang kompleks terjadinya pengelompokan masyarakat Indonesia.
Timbulnya kematangan kondisi teknis, politis, dan sosial sejak abad ke-20,
berhasil mengubah kelompok semu menjadi berbagai kelompok kepentingan. Salah
satu kelompok kepentingan yang sangat khusus sifatnya adalah partai politik.
Partai di Indonesia
pertama kali adalah Masyumi, yang pada hasil pemilu tahun 1955 merupakan partai
paling besar sesudah PNI dan Partai Nahdatul Ulama partai paling besar nomor 3
setelah Masyumi. Persaingan tersebut, pada hakikatnya memiliki dasarnya di
dalam perbedaan latar belakang sosial cultural di antara para pendukung
Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama. Muhammadiyah adalah pendukung gerakan
modernism Islam yang sering kali dihubungkan dengan ajaran-ajaran Muhammad
Abduh dari Universitas Al-Azhar di Cairo pada akhir abad ke-19.
Setiap pambicaraan
mengenai pola kepartaian di Indonesia tidak mungkin mengabaikan sebuah partai
yang menurut hasil pemilu tahun 1955 merupakan partai nomor besar ke-4 yaitu
PKI. Sebuah partai yang lebih kecil pendukungnya tapi memiliki pengaruh yang
cukup kuat dalam politik Indonesia yaitu Partai Sosialis Indonesia (PSI), namun
pada tahun 1960 dibubarkan.
Melihat struktur yang
demikian, kita menjadi lebih mengerti konflik yang terjadi antar partai politik
di Indonesia pada masa silam pada dasarnya merupakan konflik antar kelompok
sosial kultural berdasarkan perbedaan suku-bangsa, agama, daerah, dan
stratifikasi sosial. Melihat keragaman pola kepartaian di Indonesia sebagai
sumber di dalam dua macam penggolongan masyarakat Indonesia yang bersifat
silang-menyilang, yaitu penggolongan yang bersifat keagamaan disuatu pihak, dan
penggolongan atas penganut pandangan dunia tradisional dan penganut pandangan
dunia modern di lain pihak.
D. Struktur
Masyarakat Indonesia dan Masalah Integrasi Nasional
Pluralitas masyarakat
yang bersifat multidimensional itu akan dan telah menimbulkan persoalan tentang
bagaimana masyarakat Indonesia terintergrasi secara horizontal, sementara
stratifikasi sosial memberikan bentuk pada integrasi nasional yang bersifat vertical.
Van Den Berghe
menyatakan betapa masyarakat majemuk tidak dapat di golongkan begitu saja ke
dalam salah satu di antara dua jenis masyarakat menurut model analisis Emile
Durkheim. Suatu sistem sosial senantiasa terintegrasi di atas landasn dua hal
berikut. Pertama, masyarakat terintergrasi akan nilai-nlai kemasyarakatan yang
bersifat fundamental. Kedua, suatu masyarakat senantiasa terintergrasi menjadi
anggota berbagai kesatuan sosial.
Keduanya tentu saja mendasari
pula terjadinya integrasi sosial di dalam masyarakat yang bersifat majemuk.
Segmentasi dalam bentuk terjadinya kesatuan-kesatuan sosial yang terikat ke
dalam oleh ikatan-ikatan primordial dengan sub kebudayaan yang berbeda satu
sama lain.
Pandangan para penganut
pendekatan konflik memperoleh kebenaran terutama dalam konteks masyarakat
Indonesia pada masa penjajahan, di mana sejumlah amat sedikit orang-orang kulit
putih menguasai sejumlah amat besar pendapatan nasional. Apabila kita mengikuti
pandangan dasar dari para penganut fungsionalisme struktural, maka faktor yang
mengintegrasikan masyarakat Indonesia tentulah berupa kesepakatan para warga
masyarakat Indonesia akan nilai-nilai umum tertentu.
Konsensus nasional
mengenai bagaimana kehidupan bangsa Indonesia harus diwujudkan atau
diselenggarakan untuk sebagian harus kita temukan di dalam proses pertumbuhan
Pancasila sebagai dasar falsafah atau ideologi Negara. Prinsip-prinsip
pancasila diturunkan atau dijabarkan ke dalam bentuk norma-norma hukum berupa
Undang-Undang Dasar 1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan. Pancasila
beserta dengan peraturan perundang-undangan yang diturunkan masih belum sempat
sepenuhnya tersosialisasi ke dalam jiwa sebagian besar para anggota masyarakat
Indonesia.
Pada tingkat ideologis,
konflik dapat kita simak dalam bentuk perbedaan-perbedaan pengertian dasar di
antara berbagai golongan masyarakat mengenai berbagai macam hal. Golongan
abangan menganggap agama Islam sebagai agamanya orang arab, dan oleh karena itu
mereka tidak dengan sepenuh hati menghayatinya.
Konflik ideologis lebih
mudah disimak di dalam hubungannya dengan perbedaan-perbedaan agama. Konflik
ideologis antara lapisan-lapisan sosial bukannya tidak ada. Lapisan elit, yang
biasa disebut juga sebagai lapisan priyayi, berpendidikan, dan kebanyakan
berasal dari atau tinggal di kota.
Di dalam lapangan
hukum, yang menurut pandangan para penganut fungsionalisme structural berfungsi
memelihara harmoni sosial dan membatasi timbulnya konflik-konflik.
Konflik-konflik ideologis di antara berbagai golongan di dalam masyarakat
Indonesia, telah menjadi sebab timbulnya kesulitan-kesulitan untuk
mempertumbuhkan aturan permainan, di antara mereka di dalam hubungan-hubungan
kekuasaan.
Untuk menilai
intensitas pertentangan-pertentangan politik ada beberapa indikator yang dimuat
di dalam karya Charles Lewis Taylor dan Michael C. Hudson, pertama adalah apa
yang mereka sebut sebagai demonstrasi. Kedua kerusuhan, suatu istilah yang
barang kali tidak terlalu tepat untuk menggantikan istilah “riot”. Ketiga
adalah apa yang disebut senagai senjata. Yang keempat terutama sekali
berhubungan dan merupakan akibat dari pada armed attack.
Pemindahan kekuasaan
eksekutif yang lebih jelas mencerminkan adanya konflik politik di dalam
masyarakat adalah pemindahan kekuasaan eksekutif yang bersifat ireguler.
Konflik yang sumbernya jauh berada di dalam perbedaan sosial-struktur, telah
menyebabkan konsensus mengenai aturan permainan di dalam hubungan antar
golongan menjadi tidak mudah berkembang.
Sesudah revolusi
kemerdekaan, konflik antara golongan di dalam masyarakat Indonesia berubah
menjadi tidak bersifat eksklusif lagi. Perbedaan suku-bangsa, agama, daerah,
dan pelapisan sosial saling silang-menyilang satu sama lain menghasilkan suatu
keanggotaan golongan yang bersifat silang-menyilang pula.