Saturday, 22 March 2014

Sinopsis Sistem Sosial Indonesia



NAMA            :ILHAM LAZIMI
NIM/KELAS  : A310130170/2D

Depan
                               
Belakang

Judul buku      : Sistem Sosial Indonesia
Penulis             : Dr. Nasikun
Penerbit           :PT Raja Grafindo Persada
Tahun              :2010


Sistem Sosial Indonesia
A.  Pendekatan Teoritis
Ada dua macam pendekatan yang paling populer di antara pendekatan yang lain. Salah satunya adalah sebuah pendekatan yang menjadi amat berpengaruh dikalangan para ahli sosiologi. Fungsionalisme struktural sekali tumbuh dari cara melihat masyarakat yang menganalogikan masyarakat dengan organisme biologis
Suatu sistem sosial, pada dasarnya, tidak lain adalah suatu sistem dari pada tindakan-tindakan. Pengaturan interaksi sosial di antara para anggota masyarakat tersebut dapat terjadi karena commitment mereka terhadap norma-norma sosial menghasilkan daya untuk mengatasi perbedaan – perbedaan pendapat dan kepentingan di antara mereka.
Parsons dan para pengikutnya telah berhasil membawa pendekatan fungsionalisme struktural ke tingkat perkembangannya yang sangat berpengaruh di dalam pertumbuhan teori-teori sosiologi saat ini. Setiap tiap sistem sosial memiliki kecenderungan untuk mencapai stabilitas di atas konsensus para anggota masyarakat akan nilai-nilai umum tertentu.
Conflic approach kita bedakan atas dua macam pendekatan yang lebih kecil, yaitu structuralist-Marxist dan structuralist-non-Marxist. Perubahan sosial, oleh para penganut pendekatan konflik tidak saja dipandang sebagai gejala yang melekat di dalam kehidupan setiap masyaraka, akan tetapi lebih dari pada itu malahan dianggap “bersumber” di dalam faktor-faktor yang ada di dalam masyarakat itu sendiri, suatu hal yang kurang diperhatikan oleh para penganut pendekatan fungsionalisme struktural.
Kelompok semu tidak memiliki struktur hubungan-hubungan sosial yang didasari, akan tetapi para anggotanya memiliki kepentingan-kepentingan dan mode-mode tingkah laku yang sama, yang setiap saat dapat berkembang menjadi kelompok dalam artian yang sebenarnya berupa apa yang biasa disebut sebagai kelompok kepentingan. Kelompok semu tidaklah dengan sendirinya atau begitu saja menjelma menjadi kelompok kepentingan.
Di luar kondisi-kondisi teknis dan kondisi-kondisi politis masih dibutuhkan prasyarat lain agar adanya para pemimpin, ideologi, dan kebebasan berorganisasi benar-benar mengakibatkan munculnya kelompok kepentingan. Kondisi tersebut yaitu kondisi-kondisi teknis, kondisi-kondisi politis, dan sosial. Kelompok tersebut berakar di dalam kepentingan-kepentingan yang saling berlawanan satu sama lain, maka kelompok-kelompok kepentingan itupun akan senantiasa berada di dalam situasi konflik pula.
Bentuk pengendalian konflik-konflik sosial yang pertama yang paling penting adalah apa yang disebut konsiliasi, yang terwujud melalui lembaga-lembaga tertentu yang memungkinkan tumbuhnya pola diskusi dan pengambilan keputusan-keputusan di antara pihak-pihak yang berlawanan.
B.  Struktur Majemuk Masyarakat Indonesia

Pandangan para penganut pendekatan konflik tersebut bukan tidak mengandung kelemahan-kelemahan, akan tetapi jelas bahwa pandangan tersebut menutup kelemahan-kelemahan yang kita jumpai pada pandangan para penganut pendekatan fungsional struktural. Secara horizontal, struktur masyarakat Indonesia di tandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan-perbedaan suku-bangsa, perbedaan agama, adat serta perbedaan kedaerahan.
Masyarakat Indonesia pada masa Hindia-Belanda, demikian menurut furnivall, merupakan suatu masyarakat majemuk, yakni suatu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain di dalam suatu kesatuan politik. Di dalam kehidupan politik, pertanda paling jelas dari masyarakat indonesia yang bersifat majemuk itu adalah tidak adanya kehendak bersama.
Di dalam kehidupan ekonomi, tidak adanya kehendak bersama tersebut menemukan pernyataannya di dalam bentuk tidak adanya permintaan sosial yang dihayati bersama oleh seluruh elemen masyarakat. Hal itu menjadi sumber yang membedakan karakter ekonomi majemuk dari suatu masyarakat majemuk, dengan ekonomi tunggal dari suatu masyarakat yang bersifat homogeneous.
Keadaan masyarakat indonesia pada masa kini sudah jauh berbeda dari keadaan tersebut. Dengan mengabaikan perwujudannya yang konkret, kita dapat menangkap esensi dari konsepsi Furnivall yang terlepas dari ruang dan waktu. Konsepsi Furnivall yaitu suatu masyarakat dimana sistem nilai yang dianut oleh berbagai kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya adalah sedemikian rupa, sehingga para anggota masyarakat kurang memiliki loyalitas terhadap masyarakat sebagai keseluruhan.
Tentang berapa jumlah suku bangsa yang sebenarnya ada di Indonesia, terdapat berbagai pendapat yang tidak sama. Hidred Geertz, menyebutkan adanya lebih dari 300 suku bangsa di Indonesia, masing-masing dengan bahasa dan identitas kultural yang berbeda-beda. Skinner menyebutkan adanya lebih dari 35 suku bangsa di Indonesia, masing-masing dengan bahasa dan adat yang tidak sama.
Mengikuti pengertian suku bangsa sebagaimana tersebut digolongkan orang-orang tionghoa sebagai salah satu suku bangsa di antara berbagai suku bangsa di Indonesia. Pengaruh yang menyentuh pertama kali masyarakat Indonesia berupa pengaruh kebudayaan Hindu dan Budha dari India sejak 400 tahun sesudah masehi. Pada waktu itu tersebar meliputi daerah yang cukup luas di Indonesia, serta lebur bersama-sama dengan kebudayaan asli yang telah hidup lebih dahulu sebelum itu.
Pengaruh kebudayaan Islam mulai memasuki masyarakat Indonesia sejak abad ke 13, akan tetapi baru benar-benar mengalami proses penyebaran yang meluas sepanjang abad ke 15. Pengaruh kebudayaan barat mulai memasuki masyarakat Indonesia melalui kedatangan bangsa Portugis pada permulaan abad ke 16. Hasil pengaruh kebudayaan tersebut kita jumpai dalam bentuk pluaritas agama di dalam masyarakat Indonesia.
Iklim yang berbeda-beda dan struktur tanah yang tidak sama di antara berbagai daerah di kepulauan Nusantara ini, merupakan faktor yang menciptakan pluralitas regional di Indonesia. Data penyebaran penduduk pada tahun 1930 dan 1961 memperlihatkan kontras yang pertama. Tahun 1930, bahwa pulau Jawa dan Madura yang hanya memiliki luas daerah yang kurang dari 7% luas seluruh Indonesia, memiliki jumlah penduduk hampir 70% dari jumlah seluruh penduduk di Indonesia.  
Proses tumbuhnya ketimpangan yang demikian mempunyai akarnya di dalam struktur ekonomi di Indonesia pada zaman Hindia-Belanda, yang oleh Boeke digambarkan sebagai dual economy. Di dalam struktur ekonomi yang demikian berupa struktur ekonomi modern yang secara komersial bersifat canggih, banyak bersentuhan dengan lalu lintas perdagangan internasional.
Struktur tersebut berakar di dalam keseluruhan struktur masyarakat Indonesia yang mengandung perbedaan yang tajam antara struktur masyarakat kota yang bersifat modern, dengan struktur masyarakat pedesaan yang bersifat tradisional. Kebayakan Negara-negara yang sedang berkembang, ditandai oleh adanya “Gap” di dalam hampir semua aspek kehidupan. Pola stratifikasi sosial didasarkan ukuran luasnya pemilikan tanah di daerah-daerah.

C.  Struktur Kepartaian sebagai Perwujudan Struktur Sosial Masyarakat Indonesia

Perbedaan suku bangsa, agama, regional, dan pelapisan sosial tersebut secara analitis memang dapat dibicarakan sendiri-sendiri, tapi kenyataannya jalin-menjalin menjadi suatu kebulatan yang kompleks terjadinya pengelompokan masyarakat Indonesia. Timbulnya kematangan kondisi teknis, politis, dan sosial sejak abad ke-20, berhasil mengubah kelompok semu menjadi berbagai kelompok kepentingan. Salah satu kelompok kepentingan yang sangat khusus sifatnya adalah partai politik.
Partai di Indonesia pertama kali adalah Masyumi, yang pada hasil pemilu tahun 1955 merupakan partai paling besar sesudah PNI dan Partai Nahdatul Ulama partai paling besar nomor 3 setelah Masyumi. Persaingan tersebut, pada hakikatnya memiliki dasarnya di dalam perbedaan latar belakang sosial cultural di antara para pendukung Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama. Muhammadiyah adalah pendukung gerakan modernism Islam yang sering kali dihubungkan dengan ajaran-ajaran Muhammad Abduh dari Universitas Al-Azhar di Cairo pada akhir abad ke-19.
Setiap pambicaraan mengenai pola kepartaian di Indonesia tidak mungkin mengabaikan sebuah partai yang menurut hasil pemilu tahun 1955 merupakan partai nomor besar ke-4 yaitu PKI. Sebuah partai yang lebih kecil pendukungnya tapi memiliki pengaruh yang cukup kuat dalam politik Indonesia yaitu Partai Sosialis Indonesia (PSI), namun pada tahun 1960 dibubarkan.
Melihat struktur yang demikian, kita menjadi lebih mengerti konflik yang terjadi antar partai politik di Indonesia pada masa silam pada dasarnya merupakan konflik antar kelompok sosial kultural berdasarkan perbedaan suku-bangsa, agama, daerah, dan stratifikasi sosial. Melihat keragaman pola kepartaian di Indonesia sebagai sumber di dalam dua macam penggolongan masyarakat Indonesia yang bersifat silang-menyilang, yaitu penggolongan yang bersifat keagamaan disuatu pihak, dan penggolongan atas penganut pandangan dunia tradisional dan penganut pandangan dunia modern di lain pihak.

D.  Struktur Masyarakat Indonesia dan Masalah Integrasi Nasional

Pluralitas masyarakat yang bersifat multidimensional itu akan dan telah menimbulkan persoalan tentang bagaimana masyarakat Indonesia terintergrasi secara horizontal, sementara stratifikasi sosial memberikan bentuk pada integrasi nasional yang bersifat vertical.
Van Den Berghe menyatakan betapa masyarakat majemuk tidak dapat di golongkan begitu saja ke dalam salah satu di antara dua jenis masyarakat menurut model analisis Emile Durkheim. Suatu sistem sosial senantiasa terintegrasi di atas landasn dua hal berikut. Pertama, masyarakat terintergrasi akan nilai-nlai kemasyarakatan yang bersifat fundamental. Kedua, suatu masyarakat senantiasa terintergrasi menjadi anggota berbagai kesatuan sosial.
Keduanya tentu saja mendasari pula terjadinya integrasi sosial di dalam masyarakat yang bersifat majemuk. Segmentasi dalam bentuk terjadinya kesatuan-kesatuan sosial yang terikat ke dalam oleh ikatan-ikatan primordial dengan sub kebudayaan yang berbeda satu sama lain.
Pandangan para penganut pendekatan konflik memperoleh kebenaran terutama dalam konteks masyarakat Indonesia pada masa penjajahan, di mana sejumlah amat sedikit orang-orang kulit putih menguasai sejumlah amat besar pendapatan nasional. Apabila kita mengikuti pandangan dasar dari para penganut fungsionalisme struktural, maka faktor yang mengintegrasikan masyarakat Indonesia tentulah berupa kesepakatan para warga masyarakat Indonesia akan nilai-nilai umum tertentu.
Konsensus nasional mengenai bagaimana kehidupan bangsa Indonesia harus diwujudkan atau diselenggarakan untuk sebagian harus kita temukan di dalam proses pertumbuhan Pancasila sebagai dasar falsafah atau ideologi Negara. Prinsip-prinsip pancasila diturunkan atau dijabarkan ke dalam bentuk norma-norma hukum berupa Undang-Undang Dasar 1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan. Pancasila beserta dengan peraturan perundang-undangan yang diturunkan masih belum sempat sepenuhnya tersosialisasi ke dalam jiwa sebagian besar para anggota masyarakat Indonesia.
Pada tingkat ideologis, konflik dapat kita simak dalam bentuk perbedaan-perbedaan pengertian dasar di antara berbagai golongan masyarakat mengenai berbagai macam hal. Golongan abangan menganggap agama Islam sebagai agamanya orang arab, dan oleh karena itu mereka tidak dengan sepenuh hati menghayatinya.
Konflik ideologis lebih mudah disimak di dalam hubungannya dengan perbedaan-perbedaan agama. Konflik ideologis antara lapisan-lapisan sosial bukannya tidak ada. Lapisan elit, yang biasa disebut juga sebagai lapisan priyayi, berpendidikan, dan kebanyakan berasal dari atau tinggal di kota.
Di dalam lapangan hukum, yang menurut pandangan para penganut fungsionalisme structural berfungsi memelihara harmoni sosial dan membatasi timbulnya konflik-konflik. Konflik-konflik ideologis di antara berbagai golongan di dalam masyarakat Indonesia, telah menjadi sebab timbulnya kesulitan-kesulitan untuk mempertumbuhkan aturan permainan, di antara mereka di dalam hubungan-hubungan kekuasaan.
Untuk menilai intensitas pertentangan-pertentangan politik ada beberapa indikator yang dimuat di dalam karya Charles Lewis Taylor dan Michael C. Hudson, pertama adalah apa yang mereka sebut sebagai demonstrasi. Kedua kerusuhan, suatu istilah yang barang kali tidak terlalu tepat untuk menggantikan istilah “riot”. Ketiga adalah apa yang disebut senagai senjata. Yang keempat terutama sekali berhubungan dan merupakan akibat dari pada armed attack.
Pemindahan kekuasaan eksekutif yang lebih jelas mencerminkan adanya konflik politik di dalam masyarakat adalah pemindahan kekuasaan eksekutif yang bersifat ireguler. Konflik yang sumbernya jauh berada di dalam perbedaan sosial-struktur, telah menyebabkan konsensus mengenai aturan permainan di dalam hubungan antar golongan menjadi tidak mudah berkembang.
Sesudah revolusi kemerdekaan, konflik antara golongan di dalam masyarakat Indonesia berubah menjadi tidak bersifat eksklusif lagi. Perbedaan suku-bangsa, agama, daerah, dan pelapisan sosial saling silang-menyilang satu sama lain menghasilkan suatu keanggotaan golongan yang bersifat silang-menyilang pula.